Selasa, 24 Mei 2011

analisis terhadap novel "Orang Miskin Dilarang sekolah" karya Wiwid Prasetyo

KAJIAN TEORI

A. TEMA DAN AMANAT
Gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra disebut tema. Ada beberapa macam tema, yaitu:
a. Ada tema didaktis, yaitu tema pertentangan antara kebaikan dan kejahatan
b. Ada tema yang dinyatakan secara eksplisit
c. Ada tema yang dinyatakan secara simbolik
d. Ada tema yang dinyatakan dalam dialog tokoh utamanya
Dalam menentukan tema cerita, pengarang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
a. Minat pribadi
b. Selera pembaca
c. Keinginan penerbit atau penguasaan
Kadang-kadang terjadi perbedaan antara gagasan yang dipikirkan oleh pengarang dengan gagasan yang dipahami oleh pembaca melalui karya sastra. Gagasan sentral yang terdapat atau ditemukan dalam karya sastra disebut makna muatan, sedangkan makna atau gagasan yang dimaksud oleh pengarang (pada waktu menyusun cerita tersebut) disebut makna niatan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan makna aniatan kadang-kadang tidak sama dengan makna muatan yaitu:
a. Pengarang kurang pandai menjabarkan tema yang dikehendakinya di dalam karyanya.
b. Beberapa pembaca berbeda pendapat tentang gagasan dasar suatu karta.
Yang diutamakan adalah bahwa penafsiran itu dapat dipertanggungjawabkan dengan adanya unsur-unsur di dalam karya sastra yang menunjang tafsiran tersebut.
Dalam suatu karya sastra ada tema sentral dan ada pula tema samapingan. Yang dimaksud tema sentral adalah tema yang menjadi pusat seluruh rangkaian peristiwa dalam cerita. Yang dimaksud tema sampingan adalah tema-tema lain yang mengiringi tema sentral.
Ada tema yang terus berulang dan dikaitkan dengan tokoh, latar, serta unsur-unsur lain dalam cerita. Tema semacam itu disebut leitmotif. Leitmotif ini mengantar pembaca pada suatu amanat. Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Amanat dapat disampaikan secara implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir, dapat pula secara eksplisit yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, larangan yang berhubungan dengan gagasan utama cerita.

B. TOKOH DAN PENOKOHAN
Yang dimaksud dengan tokoh adalah individu ciptaan/rekaan pengarang yang mengalami peristiwa-peristiwa atau lakukan dalam berbagai peristiwa cerita. Pada umumnya tokoh berwujud manusia, dapat pula berwujud binatang atau benda yang diinsankan. Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita, tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita.
Tokoh sentral dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Tokoh sentral protagonis. Tokoh sentral protagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan positif atau menyampaikan nilai-nilai pisitif.
b. Tokoh sentral antagonis. Tokoh sentral antagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan yang bertentangan dengan protagonis atau menyampaikan nilai-nilai negatif.
Tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh sentral. Tokoh bawahan dibedakan menjadi tiga, yaitu
a. Tokoh andalan. Tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang menjadi kepercataan tokoh sentral (protagonis atau antagonis).
b. Tokoh tambahan. Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit sekali memegang peran dalam peristiwa cerita.
c. Tokoh lataran. Tokoh lataran adalah tokoh yang menjadi bagian atau berfungsi sebagai latar cerita saja.

Berdasarkan cara menampikan perwatakannya, tokoh dalam cerita dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Tokoh datar/sederhana/pipih. Yaitu tokoh yang diungkapkan atau disoroti dari satu segi watak saja. Tokoh ini bersifat statis, wataknya sedikit sekali berubah, atau bahkan tidak berubah sama sekali (misalnya tokoh kartun, kancil, film animasi).
b. Tokoh bulat/komplek/bundar. Yaitu tokoh yang seluruh segi wataknya diungkapkan. Tokoh ini sangat dinamis, banyak mengalami perubahan watak.
Yang dimaksud penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Ada beberapa metode penyajian watak tokoh, yaitu:
a. Metode analitis/langsung/diskursif. Yaitu penyajian watak tokoh dengan cara memaparkan watak tokoh secara langsung.
b. Metode dramatik/taklangsung/ragaan. Yaitu penyajian watak tokoh melalui pemikiran, percakapan, dan laku tokoh yang disajikan pengarang. Bahkan dapat pula dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh.
c. Metode kontekstual. Yaitu penyajian watak tokoh melalui gaya bahasa yang dipakai pengarang.
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini KM., ada lima cara menyajikan watak tokoh, yaitu:
a. Melalui apa yang dibuatnya, tindakan-tindakannya, terutama abagaimana ia bersikap dalam situasi kritis.
b. Melalui ucapana-ucapannya. Dari ucapan kita dapat mengetahui apakah tokoh tersebut orang tua, orang berpendidikan, wanita atau pria, kasar atau halus.
c. Melalui penggambaran fisik tokoh.
d. Melalui pikiran-pikirannya
e. Melalui penerangan langsung.
Tokoh dan latar memang merupakan dua unsur cerita rekaan yang erat berhubungan dan saling mendukung.

C. ALUR/PLOT
Alur adalah urutaan atau rangkaian peristiwa dalam cerita rekaan. Urutan peristiwa dapat tersusun berdasarkan tiga hal, yaitu:
a. Berdasarkan urutan waktu terjadinya. Alur dengan susunan peristiwa berdasarkan kronologis kejadian disebut alur linear
b. Berdasarkan hubungan kausalnya/sebab akibat. Alur berdasarkan hubungan sebab-akibat disebut alur kausal.
c. Berdasarkan tema cerita. Alur berdasarkan tema cerita disebut alur tematik.
 Struktur Alur
Setiap karya sastra tentu saja mempunyai kekhususan rangkaian ceritanya. Namun demikian, ada beberapa unsur yang ditemukan pada hampir semua cerita. Unsur-unsur tersebut merupakan pola umum alur cerita. Pola umum alur cerita adalah:
a. Bagian awal
1. paparan (exposition)
2. rangkasangan (inciting moment)
3. gawatan (rising action)
b. Bagian tengah
4. tikaian (conflict)
5. rumitan (complication)
6. klimaks
c. Bagian akhir
7. leraian (falling action)
8. selesaian (denouement)

Bagian Awal Alur
Jika cerita diawali dengan peristiwa pertama dalam urutan waktu terjadinya, dikatakan bahwa cerita itu disusun abovo. Sedangkan jika yang mengawali cerita bukan peristiwa pertama dalam urutan waktu kejadian dikatakan bahwa cerita itu dudun in medias res.
Penyampaian informasi pada pembaca disebut paparan atau eksposisi. Jika urutan konologis kejadian yang disajikan dalam karya sastra disela dengan peristiwa yang terjadi sebelumnya, maka dalam cerita tersebut terdapat alih balik/sorot balik/flash back.
Sorot balik biasanya digunakan untuk menambah tegangan/gawatan, yaitu ketidakpastian yang berkepanjangan dan menjadi-jadi. Dalam membuat tegangan, penulis sering menciptakan regangan, yaitu proses menambah ketegangan emosional, sering pula menciptakan susutan, yaitu proses pengurangan ketegangan. Sarana lain yang dapat digunakan untuk menciptakan tegangan adalah padahan (foreshadowing), yaitu penggambaran peristiwa yang akan terjadi.

Bagian Tengah Alur
Tikaian adalah perselisihan yang timbul sebagai akibat adanya dua kekuatan yang bertentangan. Perkembangan dari gejala mula tikaian menuju ke klimaks cerita disebut rumitan. Rumitan mempersiapkan pembaca untuk menerima seluruh dampak dari klimaks. Klimaks adalah puncak konflik antartokoh cerita.

Bagian Akhir Alur
Bagian sesudah klimaks adalah leraian, yaitu peristiwa yang menunjukkan perkembangan peristiwa ke arah selesaian. Selesaian adalah bagian akhir atau penutup cerita.

Dalam membangun peristiwa-peristiwa cerita, ada beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan agar alur menjadi dinamis. Faktor-faktor penting tersebut adalah
a. faktor kebolehjadian (pausibility). Yaitu peristiwa-peristiwa cerita sebaiknya meyakinkan, tidak selalu realistik tetapi masuk akal. Penyelesaian masalah pada akhir cerita sesungguhnya sudah terkandung atau terbayang di dalam awal cerita dan terbayang pada saat titik klimaks.
b. Faktor kejutan. Yaitu peristiwa-peristiwa sebaiknya tidak dapat secara langsung ditebak/dikenali oleh pembaca.
c. Faktor kebetulan. Yaitu peristiwa-peristiwa tidak diduga terjadi, secara kebetulan terjadi.
Kombinasi atau variasi ketiga faktor tersebutlah yang menyebabkan peristiwa-peristiwa cerita menjadi dinamis.
Selain itu ada hal yang harus dihindari dalam alur, yaitu lanturan atau digresi. Lanturan atau digresi adalah peristiwa atau episode yang tidak berhubungan dengan inti cerita atau menyimpang dari pokok persoalan yang sedang dihadapi dalam cerita.

 Macam Alur
Pada umumnya orang membedakan alur menjadi dua, yaitu alur maju dan alur mundur. Yang dimaksud alur maju adalah rangkaian peristiwa yang urutannya sesuai dengan urutan waktu kejadian. Sedangkan yang dimaksud alur mundur adalah rangkaian peristiwa yang susunannya tidak sesuai dengan urutan waktu kejadian.
Pembagian seperti itu sebenarnya hanyalah salah satu pembagian jenis alur yaitu pembagian alur berdasarkan urutan waktu. Secara lebih lengkap dapat dikatakan bahwa ada tiga macam alur, yaitu:
a. alur berdasarkan urutan waktu
b. alur berdasarkan urutan sebab-akibat
c. alur berdasarkan tema. Dalam cerita yang beralur tema setiap peristiwa seolah-olah berdiri sendiri. Kalau salah satu episode dihilangkan cerita tersebut masih dapat dipahami.
Dalam hubungannya dengan alur, ada beberapa istilah lain yang perlu dipahami. Pertama, alur bawahan. Alur bawahan adalah alur cerita yang ada di samping alur cerita utama. Kedua, alur linear. Alur linear adalah rangkaian peristiwa dalam cerita yang susul-menyusul secara temporal. Ketiga, alur balik. Alur balik sama dengan sorot balik atau flash back. Keempat, alur datar. Alur datar adalah alur yang tidak dapat dirasakan adanya perkembangan cerita dari gawatan, klimaks sampai selesaian. Kelima, alur menanjak. Alur menanjak adalah alur yang jalinan peristiwanya semakin lama semakin menanjak atau rumit.
D. LATAR
Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar meliputi penggambaran letak geografis (termasuk topografi, pemandangan, perlengkapan, ruang), pekerjaan atau kesibukan tokoh, waktu berlakunya kejadian, musim, lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh.
 Macam Latar
Latar dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Latar fisik/material. Latar fisik adalah tempat dalam ujud fisiknya (dapat dipahami melalui panca indra).
Latar fisik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Latar netral, yaitu latar fisik yang tidak mementingkan kekhususan waktu dan tempat.
b. Latar spiritual, yaitu latar fisik yang menimbulkan dugaan atau asosiasi pemikiran tertentu.
2. Latar sosial. Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok sosial dan sikap, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain.
 Fungsi Latar
Ada beberapa fungsi latar, antara lain:
1. memberikan informasi situasi sebagaimana adanya
2. memproyeksikan keadaan batin tokoh
3. menciptakan suasana tertentu menciptakan kontras

E. SUDUT PANDANG DAN GAYA BAHASA
Bennison Gray membedakan pencerita menjadi pencerita orang pertama dan pencerita orang ketiga.
1. Pencerita orang pertama (aku).
Yang dimaksud sudut pandang orang pertama adalah cara bercerita di mana tokoh pencerita terlibat langsung mengalami peristiwa-peristiwa cerita. Ini disebut juga gaya penceritaan aku.Gaya penceritaan aku dibedakan menjadi dua, yaitu
a. Pencerita aku sertaan, yaitu pencerita aku di mana pencnerita menjadi tokoh sentral dalam cerita tersebut.
b. Pencerita aku taksertaan, yaitu pencerita aku di mana pencerita tidak terlibat menjadi tokoh sentral dalam cerita tersebut.
2. Pencerita orang ketiga (dia).
Yang dimaksud sudut pandang orang ketiga adalah sudut pandang bercerita di mana tokoh pencnerita tidak terlibat dalam peristiwa-peristiwa cerita. Sudut pandang orang ketiga ini disebut juga gaya penceritaan dia. Gaya pencerita dia dibedakan menjadi dua, yaitu
a. Pencerita dia serba tahu, yaitu pencerita dia yang tahu segala sesuatu tentang semua tokoh dan peristiwa dalam cerita. Tokoh ini bebas bercerita dan bahkan memberi komentar dan penilaian terhadap tokoh cerita.
b. Pencerita dia terbatas, yaitu pencerita dia yang membatasi diri dengan memaparkan atau melukiskan laku dramatik yang diamatinya. Jadi seolah-olah dia hanya melaporkan apa yang dilihatnya saja.
Kadang-kadang orang sulit membedakan antara pengarang dengan tokoh pencerita. Pada prinsipnya pengarang berbeda dengan tokoh pencerita. Tokoh pencerita merupakan individu ciptaan pengarang yang mengemban misi membawakan cerita. Ia bukanlah pengarang itu sendiri. Jakob Sumardjo membagi point of view menjadi empat macam, yaitu
a. Sudut penglihatan yang berkuasa (omniscient point of view). Pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. Ia tahu segalanya.
b. Sudut penglihatan obyektif (objective point of view). Pengarang serba tahu tetapi tidak memberi komentar apapun. Pembaca hanya disuguhi pandangan mata, apa yang seolah dilihat oleh pengarang.
c. Point of view orang pertama. Pengarang sebagai pelaku cerita.
d. Point of view peninjau. Pengarang memilih salah satu tokohnya untuk bercerita. Seluruh kejadian kita ikuti bersama tokoh ini.
Menurut Harry Shaw, sudut pandang dalam kesusastraan mencakup
a. Sudut pandang fisik. Yaitu sudut pandang yang berhubungan dengan waktu dan ruang yang digunakan pengarang dalam mendekati materi cerita.
b. Sudut pandang mental. Yaitu sudut pandang yang berhubungan dengan perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah atau peristiwa yang diceritakannya.
c. Sudut pandang pribadi. Adalah sudut pandang yang menyangkut hubungan atau keterlibatan pribadi pengarang dalam pokok masalah yang diceritakan. Sudut pandang pribadi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu pengarang menggunakan sudut pandang tokoh sentral, pengarang menggunakan sudut pandang tokoh bawahan, dan pengarang menggunakan sudut pandang impersonal (di luar cerita).
Menurut Cleanth Brooks, fokus pengisahan berbeda dengan sudut pandang. Fokus pengisahan merupakan istilah untuk pencerita, sedangkan sudut pandang merupakan istilah untuk pengarang. Tokoh yang menjadi fokus pengisahan merupakan tokoh utama cerita tersebut. Fokus pengisahan ada empat, yaitu
A. Tokoh utama menyampaikan kisah dirinya.
B. Tokoh bawahan menyampaikan kisah tokoh utama.
C. Pengarang pengamat menyampaikan kisah dengan sorotan terutama kepada tokoh utama.
D. Pengarang serba tahu.
Gaya bahasa adalah cara khas penyusunan dan penyampaian dalam bentuk tulisan dan lisan. Ruang lingkup dalam tulisan meliputi penggunaan kalimat, pemilihan diksi, penggunaan majas, dan penghematan kata. Jadi, gaya merupakan seni pengungkapan seorang pengarang terhadap karyanya. Bahasa dalam cerita memilki peran ganda, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai penyampai gagasan pengarang. Namun juga sebagai penyampai perasaannya. Beberapa cara yang ditempuh oleh pengarang dalam memberdayakan bahasa dalam cerita ialah dengan menggunakan perbandingan, menghidupkan benda mati, melukiskan sesuatu dengan tidak sewajarnya, dan sebagainya. Itulah sebabnya, terkadang dalam karya sastra sering dijumpai kalimat-kalimat khas.

ANALISIS UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK DALAM NOVEL ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH

A. UNSUR INTRINSIK

1. Tema
• Tema pada bab pertama ini adalah Segala sesuatu dimulai dari mimpi.
• Tema pada bab dua ini adalah Kesenjangan sosial yang menyedihkan.
• Tema pada bab tiga ini adalah Perjalanan jauh untuk mencapai kesempurnaan.
• Tema pada bab empat ini adalah kesendirian Mat Karmin.
• Tema dari bab lima, enam dan tujuh adalah pentingnya memperoleh pendidikan. Setiap orang punya kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan.
• Tema pada bab delapan ini adalah Kenangan indah bersama kiai tukang becak.
• Tema pada bab sembilan ini adalah Perjuangan mendapatkan cinta Kania.
• Tema pada bab sepuluh ini adalah Gedong sapi sepanjang jalan kenangan.
• Tema pada bab sebelas ini adalah Calon ilmuwan dan gejala sakit jiwa.
• Tema pada bab dua belas dan tiga belas ini adalah Persahabatan dan perjuangan dalam hidup.
• Tema pada bab empat belas adalah Kejamnya kehidupan seseorang.
• Tema pada bab lima belas adalah Bangkitlah dari kegagalan.
• Tema pada bab enam belas adalah Sempitnya dalam bergaul.
Adapun tema umum dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah adalah Perjuangan untuk mengecap bangku sekolah.
2. Amanat
• Amanat pada bab 1 adalah Janganlah serakah dan tidak mau mengalah terutama pada anak kecil, itu adalah perbuatan yang memalukan.
• Amanat pada bab 2 adalah Jangan pernah memperlakukan orang miskin seenaknya, sebab semua sama di mata Tuhan.
• Amanat pada bab 3 dan bab 4 adalah Dengan membaca kita akan mengetahui informasi dan tidak gampang ditipu.
• Amanat bab 5, bab 6 dan bab 7 adalah Jangan mudah menyerah untuk suatu tekad yang mulia. Semangat yang tinggi akan mengalahkan rintangan apapun.
• Amanat bab 8 adalah Kita tidak bisa menilai baik atau tidaknya kepribadian seseorang itu dari tampilan luarnya saja.
• Amanat bab 9 adalalah Pengorbanan harus dibarengi dengan kesabaran dan tetap optimis.
• Amanat bab 10 adalah Janganlah kita mempunyai sifat yang licik, karena sifat licik akan menyusahkan diri sendiri.
• Amanat bab 11 dan bab12 adalah Jangan mudah dihasut orang. Saling membantu, menghargai kepada sesama.
• Amanat bab 13 adalah Jika kita menginginkan sesuatu maka bersungguh-sungguhlah.
• Amanat bab 14 adalah Sebelum memvonis seseorang seharusnya dilihat dulu penyebabnya.
• Amanat bab 15 dan bab 16 adalah Harus semangat menggapai cita-cita walau banyak halangan dan cobaan yang di hadapi..
Amanat secara dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah yaitu:
 Jangan pernah takut untuk bermimpi besar, sebab orang yang tak punya mimpi berarti tak punya cita-cita.
 Jangan pernah takut untuk mencoba sesuatu yang baru selama itu bersifat positif.
 Jika kita menginginkan sesuatu maka bersungguh-sungguhlah untuk meraihnya dan hargailah usaha orang untuk berjuang mendapatkan keinginannya. Perasaan cinta seharusnya dibuat sebagai motivasi agar hidup lebih baik bukan menjerumuskan seseorang kejalan yang salah.
 Kita tidak bisa menilai baik atau tidaknya kepribadian seseorang itu dari tampilan luarnya saja.

3. Tokoh
1) Faisal : Seorang anak berbadan kecil yang berkemauan keras, pantang menyerah dan selalu memberi motivasi.
2) Pambudi : Anak yang bergigi kelinci, tidak suka membebani orang lain, bijaksana dan rela berkorban.
3) Pepeng : Anak yang bertubuh kecil dan tidak menghargai usaha orang lain serta suka berpikir untuk menghalalkan segala cara.
4) Yudi : Anak yang bisa bersyukur, dan bijaksana.
5) Koh A Kiong : Seorang yang setengah tua, bermata sipit, berkumis tipis, yang suka marah-marah
6) Ibu : Seorang yang memakai daster hijau yang bersimbah peluh karena baru selesai mencuci.
7) Pak Zainal : baik, berwibawa, bijaksana.
8) Bu Mutia : baik, pintar, ramah
9) Murid-murid I-2
Rena, Guruh dan Catur: anak-anak orang kaya yang angkuh, sombong.
10) Kania : gadis yang cantik, cerdas dan berhati emas.
11) Kanir : cantik, penyendiri, pintar dan suka membaca.
12) Baron : periang dan konyol.
13) Bu Darsih : bijaksana, guru yang baik dan sabar.
14) Pak Sukri : bertanggung jawab.
15) Sahrul : sombong dan suka menghina kawan-kawannya.
16) Ustad Muhsin : Soleh, ramah, pintar.
17) Kiai Khadis : bijaksana, berwibawa.
18) Pak Cokro : pintar dan semangat belajar, dukun kampung.
19) Mat Karmin : suka membuat layang-layang, kreatif, kelainan seks.
20) Ketiga ayah anak-anak alam: patuh pada atasan, pekerja keras, bijaksana dan penyayang.

4. ALUR/PLOT
Alur yang digunakan daam novel ini adalah alur campuran. Ini terlihat pada kutipan berikut:
Alur maju “”Maka, sepulang orang tua mereka dari rumah angkuh Yok Bek menuju gubuk reot yang memprihatinkan ini, tanpa sepengetahuan orangtua, mereka mengikuti dari belakang, masing-masing............”. (hal. 75)
Alur mundur “Aku waktu itu benar-benar bangga mempunyai kiai seorang tukang becak, tukang becak tidak identik dengan kebodohan, justru.........”. (hal. 103)

5. LATAR/SETTING
a. Latar tempat : Di sebuah kampung, dan di sebuah reruntuhan gedung yang tak terpakai. Dapat dilihat dari kutipan berikut:
“Di kampung kami, jika musim layang-layang tiba, langit tiba-tiba penuh dengan hiasan warna-warni.” Dan pada kutipan berikut :
“Aku berada di belakang bisa menyusul di antara mereka, terengah-engah, dan saling melepaskan lelah di sebuah reruntuhan gedung yang tak terpakai.”
• Area Gedong Sapi
• Rumah mewah Yok Bek
• Rumah Pambudi, Yudi dan Pepeng.

b. Latar waktu : Saat musim layang-layang, siang hari. Terlihat dari cuplikan berikut:
“Musim layang-layang telah tiba.” Dan pada kutipan berikut :
“Kami berlari ketakutan, merobek jalanan yang pengap, menembus matahari siang yang membakar peluh-peluh kami menguapmenjadi aroma tak sedap karena keringat di antara gang-gang sempit.”

c. Latar Sosial : Setiap musim layang-layang di kampung tersebut langit penuh dengan layang-layang yang indah, jika layang-layang tersangkut di kabel listrik maka orang-orang dewasa akan marah karena itu akan membuat aliran listrik terputus. Kemudian warga-warga yang berada di kampung tersebut sering secara diam-diam mencuri badan jalan untuk dijadikan halaman karena tanah dihabiskan untuk bangunan.

6. SUDUT PANDANG
Novel ini menggunakan sudut pandang oran pertama. Karena tokoh aku bertindak sebagai tokoh yang maha tahu.
7. GAYA BAHASA
Novel ini menggunakan gaya bahasa Indonesia, dan menampilkan beberapa peribahasa dalam ceritanya.


B. UNSUR EKSTRINSIK
1. Latar Belakang Pengarang
Wiwid Prasetyo atau sering juga menulis dengan nama Prasmoedya Tohari, lahir pada 9 November 1981 di Semarang. Alumnus Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, Semarang, tahun 2005 ini sehari-harinya aktif di Majalah FURQON, PESANTrend, Si Dul (majalah anak-anak), serta tabloid Info Plus Semarang, baik selaku redaktur maupun reporter. Selain itu, ia juga peduli terhadap dunia pendidikan, terbukti masih menjadi pengajar di Bimbingan Belajar Smart Kids Semarang.
Di sela-sela kesibukannya, ia masih menyempatkan diri untuk menulis beberapa karya dalam bentuk buku. Beberapa karyanya yang sudah terbit adalah Orang Miskin Dilarang Sekolah (DIVA Press, 200), Sup Tujuh Samudra (Bersama Badiatul Rozikin, DIVA Press, 2009), Chicken Soup Asma’ul Husna (Garailmu, 2009), dan Miskin Kok Mau Sekolah…?! (DIVA Press, 2009), Idolaku Ya Rasulullah Saw…! (DIVA Press, 2009), Demi Cintaku pada-Mu (DIVA Press, 2009), Aha, Aku Berhasil Kalahkan Harry Potter (DIVA Press, 2010), The Chronicle of Kartini (DIVA Press, 2010), dan Nak, Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmu (DIVA Press, 2010).

2. Psikologi Pengarang dan Psikologi Pembaca
Pengarang menganggap dunia pendidikan dan dunia kepenulisan adalah dua dunia yang saling melengkapi. Ia punya mimpi seandainya seorang pendidik memiliki keahlian menulis maka generasi muda kita tidk akan terseret dalam jurang degradasi moral yang amat dalam. Sehingga Ia berusaha untuk menyatukan kedua dunia tersebut.
Novel ini ditujukan kepada semua kalangan agar kita lebih peka terhadap nasib orang miskin, terutama dalam hal memperoleh pendidikan.
“Novel ini menggetarkan hati gugatan atas sistematisasi kemiskinan di negeri ini, dari sudut pandang sang bocah yang tak pernah mengerti mengapa ia tidak boleh sekolah”. Taufiqurrahman al-Azizy.

3. Keadaan lingkungan
”Orang miskin dilarang sekolah,” bunyi pernyataan ini mewakili secara sungguh-sungguh kenyataan pendidikan kita. Pendidikan kita masih diragukan kemampuannya untuk membuat orang pintar dan dengan demikian mampu melepaskan belenggu masyarakat dari kemiskinan. Di sisi lain, kaum miskin memang menjadi kaum ”terlarang” untuk memasuki kawasan pendidikan tinggi.
Siapa tak heran, sudah jelas disaksikan bagaimana angka kemiskinan dan rendahnya pendapatan yang diderita oleh sebagian besar masyarakat, nyatanya itu tak membuat pemerintah bergeming untuk menaikkan harga segala biaya masuk dan biaya perlengkapan pendidikan.
Lalu pendidikan itu akan diperuntukkan siapa? Apakah hanya kelas atas saja —yang jumlahnya sangat kecil, dan kelas bawah tetap dengan ketertindasannya? Tampak terang, kebijakan-kebijakan pendidikan yang direkayasa oleh pemodal dan penguasa ini menjadi cermin betapa buruknya negara ini mengelola pendidikan, betapa tidak warasnya para penguasa ini memperlakukan masyarakat miskin.
Pertama, soal keterbatasan anggaran pendidikan yang disediakan negara kepada masyarakat. Kedua, soal deetatisme yang digembar-gemborkan sebagai jalan menuju otonomi kampus sepenuhnya. Ketiga, soal kapitalisme global yang semakin lama semakin pasti mensyaratkan privatisasi berbagai lembaga milik negara untuk dipersaingkan di tengah pasar bebas.

4. Pandangan Hidup Suatu Negara
Penjelasan gamblang untuk alasan pertama adalah ketidakmampuan negara untuk memberikan subsidi sebesar-besarnya bagi masyarakat untuk menikmati dan mengenyam pendidikan. Dengan kata lain, ini merupakan kegagalan fungsi negara untuk memberikan pendidikan semurah-murahnya kepada masyarakat.
Atas alasan krisis ekonomi berkepanjangan dengan berbagai aspeknya, negara berpikir tidak lagi perlu memberikan subsidi pendidikan, terutama untuk pendidikan tinggi. Krisis ini diperparah dengan tidak kunjung membaiknya perekonomian Indonesia di tengah-tengah negara-negara lain yang sudah bangkit. Karena itu, seakan-akan absah jika negara menghendaki pemotongan anggaran pendidikan bagi masyarakat.
Ibarat sudah jatuh, masyarakat miskin yang memiliki kemampuan akademik di atas rata-rata, akhirnya tertimpa tangga pula. Orientasi mereka sudah digeser untuk sekedar mencari uang dan uang, kualifikasi akademis sudah dipinggirkan jauh-jauh.

5. Akar Budaya
Pemerintah telah melakukan terobosan dalam dunia pendidikan dengan mencanangkan adanya Bantuan Operasional Sekolah (BOS), namun kebijakan ini disalahgunakan karena masih adanya budaya korupsi di negara ini. Sehingga anggaran yang ditujukan untuk pendidikan pun tidak tersalurkan sesuai dengan perencanaan. Oleh karena itu nasib orang miskin akan terus terabaikan terutama dalam dunia pendidikan. Dan orang miskin memang benar-benar terlarang bersekolah.
Intinya masyarakat Indonesia belum membudayakan sifat jujur dalam diri masing-masing. Masih mementingkan kepentingan diri sendiri dan acuh pada kepentingan atau kebutuhan orang lain.

Ringkasan Psikolingusitik: Pengantar Pemahaman

BAB I
PENDAHULUAN

Judul Buku : Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman
Pengarang : Soenjono Dardjowidjojo
Penerbit :Yayasan Obor Indonesia Anggota IKAPI DKI Jakarta
ISBN : 979-461-9
Edisi Pertama : April 2003
Jumlah Halaman : 340 Halaman
Jumlah Bab : 12 Bab

• Bab 1: Pengantar Dasar
• Bab 2: Bagaimana Manusia Mempersepsi Ujaran
• Bab 3: Bagaimana Manusia Memahami Ujaran
• Bab 4: Pelaksanaan Tindak Ujar
• Bab 5: Produksi Ujaran
• Bab 6: Produksi Kalimat
• Bab 7: Penyimpanan dan Retrival Kata
• Bab 8: Landasan Biologis Pada Bahasa
• Bab 9: Landasan Neurologis Pada Bahasa
• Bab 10: Pemerolehan Bahasa
• Bab 11: Memori, Pikiran, dan Bahasa
• Bab 12: Membaca dan Psikolinguistik

Pada buku Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa karya Soenjono Dardwowidjojo ini terdiri dari 12 bab, dari ke dua-belas bab ini yang akan saya analisis ialah bab I sampai dengan Bab IV.

BAB II
PEMBAHASAN

BAB I: BAGIAN DASAR
1.1 Sejarah Lahirnya Psikolinguistik
Psikolinguistik adalah ilmu hidriba, yakni ilmu yang merupakan gabungan antara dua ilmu psikologi dan linguistik. Benih ilmu ini sudah tampak pada abad ke 20 tatkala psikolog Jerman Wilhelm Wundt menyatakan bahwa bahasa dapat dijelaskan dengan dasar prinsip-prinsip psikologis (Kess, 1992).
Sementara itu di benua Amerika kaitan antara bahasa dan ilmu jiwa juga mulai tumbuh. Perkembangan ini dapat dibagi menjadi empat tahap (Kess, 1992): a) tahap formatif, b) tahap linguistik, c) tahap kognitif, dan d) tahap psokolinguistik, realita psikolinguistik, dan ilmu kognitif.
a) Tahap Formatif
Pada pertengahan abad ke dua-puluh Jonh W. Gardner, seorang psikolog dari Corporation, Amerika mulai menggagas hidridisasi (penggabungan) kedua ilmu ini. Hasil pertemuan ini membuat gema yang begitu kuat di antara para ahli jiwa maupun ahli bahasa sehingga banyak penelitiaan yang kemudian dilakukan terarah pada kaitan antara istilah Psycholinguistics pertama kali dipakai.
b) Tahap Linguistik
Perkembangan ilmu linguistik, yang semula berorientasi pada aliran behaviorisme dan kemudian beralih ke mentalisme (yang sering juga disebut sebagai nativisme) pada tahun 1957 dengan diterbitkannya buku Chomsky, syntatic Structures, dan kritik tajam dari Chomsky terhadap teori behavioristik B.F. Skinner (Chomsky 1959) telah membuat psikolinguistik sebagai ilmu yang banyak diminati oarang.
c) Tahap Kognitif
Pada tahap ini psikolinguisti mulai mengarah pada peran kognisi dan landasan biologis manusia dalam pomerolahan bahasa. Pelopor seperti Chomsky mengatakan bahwa linguis itu sebenarnya adalah psikolog kognitif. Pemerolehan bahasa pada manusia bukanlah penguasaan komponen bahasa tanpa berlandaskan pada prinsip-prinsip kognitif.
d) Tahap Teori Psikolinguistik
Pada tahap akhir ini, psikolinguistik tidak lagi berdiri sebagai ilmu yang terpisah dari ilmu-ilmu lain karena pemerolehan dan penggunaan bahasa manusia menyangkut banyak cabang ilmu pengetahuan yang lain. Psikolinguistik tidak lagi terdiri dari psiko dan linguistik saja tetapi juga menyangkut ilmu-ilmu lain seperti neurologi, filsafat, primatologi, dan genetika.

1.2 Defenisi Psikolinguistik
Secara rinci psikolinguistik mempelajari empat topik utama: (a) komprehensi, yakni proses-proses mental yang dilalui oleh manusia sehinggga mereka dapat menangkap apa yang dikatakan orang dan memahami apa yang dimaksud, (b) produksi, yakni proses-proses mental pada diri kita yang membuat kita dapat belajar seperti yang kita ujarkan, (c) landasan biologis serta neurologis yang membuat manusia bisa berbahasa, dan (d) pemerolehan bahasa yakni bagaimana anak memperoleh bahasa mereka.

1.3 Kodrat Bahasa
Ciri-ciri khusus yang membedakan bahasa menusia dengan bahasa binatang ialah: pertama, bahasa manusia memiliki ketergantungan struktur (structure dependence). Ciri kedua adalah bahwa bahasa dan pemakai bahasa itu kreatif. Ciri ketiga adalah bahwa bahasa dapat dipakai untuk mengungkapkan situasi atau peristiwa yang sudah lampau atau yang belum tejadi dan bahkan untuk sesuatu yang dibayangkan. Ciri keempat adalah bahwa bahasa memiliki struktur ganda yang dinamakan struktur yang batin (deep structure) dan struktur lain (surface structure). Ciri kelima adalah bahwa bahasa itu diperoleh secara turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain. Ciri keenam adalah bahwa hubungan antara kata dengan benda, Perbuatan, atau keadaan yang durujuknya itu arbitrer (arbitrary). Ciri yang ketuju adalah bahwa bahasa memiliki pola dualitas. Dan ciri yang terakhir adalah bahwa bahasa itu memiliki semantitas.



1.4 Defenisi Bahasa
Dari gambaran ciri-ciri di atas, bahasa bisa didefinisikan dari berbagai sudut pandang. Namun definisi yang banyak dipakai orang adalah: bahasa adalah suatu simbol lisan yang arbitrer yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama.

1.5 Komponen Bahasa
Pada aliran linguistik manapun bahasa selalu dikatakan memiliki tiga komponen yaitu: sintaksis, fonologi, dan semantik. Komponen sintaksi mengenai ihwal yang berkaitan dengan kata, frasa, dan kalimat. Studi tentang kata, seperti telaah tentang bagaimana kata dibentuk dan diturunkan, umumnya ditangani dalam suatu tataran yang dinamakan morfologi. Komponen fonologi bersifat interpretif.
Dalam komponen fonologi tidak hanya diinventarisasi jumlah dan macam bunyi yang ada pada suatu bahsa tetapi juga bagaimana bunyi-bunyi tadi membentuk suatu sistem dalam bahasa tersebut. Komponen semantik membahas tentang ihwal makna dan juga bersifat interpretif. Dalam komponen ini ada seperangkat aturan semantik yang dipakai untuk menentukan apakah masukan dari komponen sintaktik itu memenuhi kaidah semantik yang ada pada bahasa tersebut.

1.6 Pragmatik
Prakmatik bukanlah salah satu dari komponen bahasa, ia hanyalah memberikan prespektif kepada bahasa. Karena pragmatik menyangkut makna maka seringkali ilmu ini dikacaukan dengan ilmu makna, semantik. Sementara itu, pragmatik merujuk kekajian makna dalam interaksi antara seorang penutur dengan penutu yanng lain (Jucker, 1998). Karena pragmatik mencakup penggunaan bahasa dalam interaksi maka pragmatik memperhatikan pula aspek-aspek lain dalam komunikasi seperti pengetahuan dunia (world knowladge), hubungan antara pembaca dengan pendengar atau orang ketiga dan macam-macam tindak ujar (speech acts) dalam kalimat.
BAB II: BAGAIMANA MANUSIA MEMPERSEPSI UJARAN
1. Penelitian Mengenai Persepsi ujaran
Dari segi ilmu pengetahuan, kajian dari penelitian mengenai bagaimana manusia mempersepsi ujaran dapat dikatakan masih sangat baru. Meskipun Willis tahun 1829 dan Helmholtz tahun 1859 telah mempelajari ciri fisik dari bunyi, penelitian bagaimana kita mempersepsi ujaran baru mulai perang dunia II (Gleason dan ratner 1988:109).

2. Masalah Dalam Mempersepsi Ujaran
Masalah yang dihadapi dalam mempersepsi ujaran ini adalah bagaimana kita dapat menangkap dan kemudian mencerna bunyi-bunyi yang diujarkan dengan sengat cepat. Di samping kecepatan, bunyi dalam satu ujaran juga tidak diucapkan secara utuh tetapi sepertinya lebur dengan bunyi yang lain. Suara seorang wanita, seorang pria, dan seorang anak juga berbeda-beda. Getar pita suara untuk wanita berkisar antara 200-300 per detik, sedangkan untuk pria suara untuk pria hanya sekitar 100. Karena itu, suara seorang pria kedengaran lebih “berat”. Sedangkan suara anak lebih tinggi dari pada suara wanita karena getaran pita suaranya bisa mencapai 400 per detik. Perbedaan-perbedaan ini memunculkan bunyi yang berbeda-beda, meskipun kata yang diucapkan itu sama.

3. Mekanisme Ujaran
Sumber dari bunyi adalah paru-paru. Paru-paru kita berkembang dan berkempis untuk menyedot dan mengeluarkan udara. Udara ini kemudian lewat lorong yang dinamakan faring (pharynx). Dari faring itu ada dua jalan yang pertama melalui hidung dan yang kedua melalui rongga mulut. Semua yang dibuat dengan udara melalui hidung disebut bunyi nasal. Sementara itu bunyi yang udaranya keluar melalui mulut dinamakan bunyi oral. Pada mulut terdapat dua bagian-bagian atas dan bagian bawah mulut. Bagian-bagian ini adalah :
1. Bibir : bibir atas dan bibir bawah. Kedua bibir ini dapat dirapatkan untuk membentuk bunyi yang dinamakan bilabial yang artinya dua bibir bertemu. Bunyi seperti [p], [b], dan [m] adalah bunyi babalial.
2. Gigi : untuk ujaran hanya gigi ataslah yang mempunyai peran. Gigi ini dapat berlekatan dengan bibir bawah untuk membentuk bunyi yang dinamakan labiodental. Contoh untuk bunyi seperti ini adalah bunyi [f] dan [v]. Gigi juga dapat berlekatan dengan ujung lidah untuk membentuk bunyi dental seperti bunyi [t] dan[d] dalam bahasa indonesia.
3. Alveolar: daerah ini berada persis dibelakang gigi atas. Pada alveolar dapat ditempelkan ujung lidah untuk membentuk bunyi yang dinamakan bunyi alveolar.
4. Palatal keras (hard plate): daerah ini adalah rongga atas mulut, persis dibelakang daerah alveolar. Pada daerah ini dapat ditempelkan lidah untuk membentuk bunyi yang dinamakan alveo palatal seperti bunyi [c] dan [j].
5. Palatal lunak ( soft falate): Pada palatal lunak dapat diletakkan bagian belakang lidah untuk membentuk bunyi yang dinamakan velar seperti bunyi [k] dan [g].
6. Uvala: pada ujung rahang atas terdapat tulang lunak yang dinamakan uvala.
7. Lidah : adalah bagian mulut yang fleksibel dan dapat bergerak dengan lentur. Lidah dibagi menjadi beberapa bagian: Ujung lidah (tip of the tongue), Mata lidah ( blade), Depan lidah (front), Belakang lidah.
8. Pita suara (vocal cords) adalah sepasang selaput yang berada di jakun (larynx).
9. Faring (pharynx) adalah salurang udara menuju rongga mulut atau rongga hidung.
10. Rongga hidung : rongga untuk bunyi-bunyi nasal seperti /m/ dan /n/
11. Rongga mulut : untuk bunyi-bunyi oral seperti /p/, /b/, /a/, dan /i/.

3.1 Bagaiman Bunyi Dibuat
Bunyi juga dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu konsonan dan vokal. Perbedaan antara keduanya terletak pada pembuatannya.



3.1.1 Pembuatan Bunyi Konsonan
Untuk membuat bunyi konsonan perlu diperhatikan tiga faktor yaitu: Fatkor pertama titik artikulasi, yakni tempat dimana artikulator itu berada, berdekatan, dan berlekatan. Faktor kedua cara artikulasi yakni bagaimana caranya udara dari paru-paru itu kita lepaskan. Faktor yang ketiga ialah status pita suara.

3.1.2 Pembuatan Bunyi Vokal
Berbeda dengan konsonan, kriteria yang dipakai untuk membentuk bunyi vokal adalah (1) tinggi rerndahnya lidah; (2) posisi lidah; (3) ketegangan lidah; dan (4) bentuk bibir.

3.1.3 Fonotatik
Tiap bahasa memiliki sistem sendiri-sendiri untuk menggabungkan fonem agar menjadi suku dan kemudian kata. Dengan demikian maka tidak mustahil adanya dua bahasa yang memiliki dua fonem yang sama tetapi fototatiknya, yakni sistem pengaturan fonemnya berbeda.

3.1.4 Struktur Sukukata
Suatu struktur kata terdiri dari dua bagian utama yakni, onset (pembukaan), dan rima (rhyme). Rima terdiri dari nukleus (ncleus) dan koda (coda).

3.1.5 Fitur Distingtif
Fitur-fitur distingtif yang ada pada konsonan adalah: vokalik dan konsonantal, anterior, koronal, kontinuan (continuant), straiden (strident), nasal, vois. Untuk bunyi vokal fitur-fitur distringtifnya adalah tinggi, vokalik, belakang, bundar, dan tegang.

3.1.6 Voice Onset Time
Voice Onset Time, yang sering disingkat sebagai VOT, adalah waktu antara lepasnya udara untuk mengucaukan suatu konsonan dengan getaran pita suara untuk bunyi vokal yang mengikutinya. Dalam contoh kata bahasa inggris man, karena /m/ adalah [=vois], yang berarti bahwa pita suaranya pastilah bergetar, maka celah waktu untuk bunyi ini meluncur ke bunyi /æ/ adalah nol.

3.2 Transmisi Bunyi
Bunyi yang dikeluarkan oleh menusia ditransmisikan ke telinga pendengar melalui gelombang udara. Pada saat suatu bunyi dikeluarkan, udara bergetar olehnya dan membentuk semacam gelombang. Dengan mekanisme yang ada pada telinga, manusia menerima bunyi dasn dengan melalui syaraf-syaraf sensoris bunyi ini kemudian “dikirimkan” ke otak untuk diproses dan kemudian ditangkapnya. Pemrosesan di otak dibimbing oleh pengetahuan tentang bahasa tersebut, termasuk pengetahuan tentang bagaimana bunyi-bunyi itu dibuat dan fitur apa saja yang terlibat.

4. Persepsi Terhadap Ujaran
Persepsi terhadap suatu ujaran bukanlah suatu yang mudah dilakukan oleh manusia karena ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang meluncur tanpa ada batas waktu yang jelas antara satu kata dengan kata yang lain. Namun demikian manusia tetap saja mempersepsi bunyi-bunyi bahasanya dengan baik. Tentu saja persepsi seperti ini dilakukan melalui tahap-tahap tertentu. Pada dasarnya ada tiga tahap dalam pemrosesan persepsi bunyi (Clark & Clark, 1977): Tahap auditori, Tahap fonetik, dan Tahap fonologis.

5. Model-model Untuk Persepsi
Dalam rangka memahami bagaiman manusia mempersepsi bunyi sehingga akhirnya dapat terbentuk komperhensi, para ahli psikolinguistik mengemukakan model-model teoritis. Sampai saat ini ada empat model teoritis yang telah di ajukan orang yaitu: model teori motor untuk persepsi ujaran, model analisis dengan sintesis, fuzzy logical model, model cohort, model trece.

6. Persepsi Ujaran Dalam Konteks
Persepsi terhadap suatu bunyi dalam deretan bunyi bisa juga dipengaruhi oleh kecepatan ujaran. Suatu bunyi yang diucapkan dengan bunyi-bunyi yang lain secara cepat akan sedikit banyak berubah lafalnya. Akan tetapi, sebagai pendengar tetap saja dapat memilah-milahnya dan akhirnya menentukannya. Faktor lain yang membantu kita dalam mempersepsi suatu ujara adalah pengetahuan kita tentang sintaksis maupun semantik bahasa kita.

BAB III: BAGAIMAN MANUSIA MEMAHAMI UJARAN
1. Struktur Batin dan Struktur lahir
Perbedaan antara struktur lahir dan batin ini sangat penting untuk pemahaman kalimat karena proses mental yang dilalui oleh manusia dalam menanggapi kalimat-kalimat seperti ini berbeda dengan kalimat-kalimat yang tidak ambigu. Meskipun konsep struktur batin dan lahir ini sudah tidak diikuti lagi oleh penggagasannya (Chomsky 1996), dalam kaitannya dengan komprehensi ujaran kedua konsep ini rasanya masih sangat bermamfaat.

2. Proposisi
Unit-unit makna pada kalimat dinamakan proposisi (Clark dan Clark 1977:11). Lobner memdefinisikannya sebagai a set of the referents of all referring element and how they are linked (Lobner, 2002:23-29 dan 99-120). Proposisi terdiri dari dua bagian (a) argument, yakni ihwal atau ihwal- ihwal yang dibicarakan, dan (b) predikasi, yakni pernyataan yang dibuat mengenai argument.

3. Konstituen Sebagai Realita Psikologis
Konstituen bukankah hanya sekedar potongan kalimat yang sifatnya arbitrer saja. Pemotongan kalimat menjadi konstituen mempunyai landasan psikologis maupun sintatik yang kuat. Pertama, konstituen merupakan satu kesatuan yang utuh secara konseptual. Kedua, pemotongan kelompok kata di luar konstituen akan mengganggu komprehensi kita. Ketiga, yang kita simpan dalam memori kita bukanlah kata-kata yang lepas dari konstituennya, tetapi kesatuan makna dari masing-masing konstituen.



4. Strategi Dalam Memehami Ujaran
Dalam memahami suatu ujaran, ada tiga faktor yang ikut membatu kita. Pertama adalah faktor yang berkaitan dengan pengetahuan dunia. Tidak jarang pula pengetahuan dunia ini merupakan satu-satunya faktor yang membantu kita memahami isi suatu ujaran. Pengetahuan tentang dunia yang sifatnya tidak universal adalah pengetahuan yang spesifik terdapat pada budaya atau masyarakat tertentu.
Di samping pengetahuan tentang dunia, memahami tentang ujaran kita juga dibantu oleh faktor-faktor sintatik. Dengan kata lain, kita memakai strategi-strategi sintatik untuk membantu kita memahami suatu ujaran. Strategi itu antara lain:
a) Setelah kita mengidentifikasi kata pertama dari suatu konstituen yang kita dengar, proses mental kita akan mencari kata lain yang selaras dengan kata pertama dalam konstuen tersebut.
b) Setelah mendnegar kata yang pertama dalam konstituen, perhatikan apakah kata berikutnya mengakhiri konstruksi itu.
c) Setelah kita mendengar suatu verba, carilah macam serta argumen yang selaras dengan verba tersebut.
d) Tempelkanlah tiap kata baru pada kata yang baru saja mendahuluinya. Strategi ini berkaitan dengan kenyataan bahwa wujud kalimat memang dalam bentuk linier sehingga kata yang mengikutinya biasanya menjelaskan kata yang mendahuluinya.
e) Pakailah kata pertama atau konstituen dari suatu klausa untuk mengidentifikasi fungsi dari klausa tersebut.
f) Pada bahasa tertentu seperti bahasa inggris, afiks juga memberikan bantuan dalam pemahaman.
Di samping strategi sintatik, orang juga memakai strategi semantik dalam memahami ujaran. Berikut ini beberapa strategi semantik yang kita pakai ialah:
a) Pakailah nalar dalam memahami ujaran.
b) Carilah konstituen yang memahami syarat-syarat semantk tertentu.
c) Apabila ada urutan kata N V N, maka N yang pertama adalah pelaku perbuatan, kecuali ada tanda-tanda lain yang mengingkarinya.
d) Bila dalam wacana kita temukan pronominal seperti dia, mereka, atau kami, carilah antesiden untuk pronominal ini.
e) Informasi lama biasanya mendahului informasi baru.
Dari gambaran di atas tampak bahwa strategi sintatik dan strategi semantik dipelukan untuk memahami ujaran.

5. Ambiguitas
Dalam beberapa hal kadang kita menemukan kalimat yang bermakna lebih dari satu yang umumnya disebut sebagai kalimat yang ambigu atau raksa.

5.1 Macam Ambiguitas
Dilihat dari segi unsur leksikal dan struktur kalimatnya, ambiguitas dapat dibagi menjadi dua macam: (a) ambiguitas leksikal, dan (b) ambiguitas gramatikal. Sesuai dengan namanya, ambiguitas leksikal adalah macam ambiguitas yang penyebabnya adalah bentuk leksikal yang dipakai.
Ambiguitas gramatikal adalah macam ambiguitas yang penyebabnya adalah bentuk struktur kalimat yang dipakai. Ambiguitas gramatikal dapat dibagi menjadi dua macam yaitu ambiguitas sementara (local ambiguity), dan ambiguitas abadi (standing ambiguity) (Gleason dan Ratner 1998).

5.2 Teori Pemrosesan Kalimat Ambigu
Pada dasarnya ada dua macam teori ambigu mengenai pemrosesan kalimat yang bermakna ganda. Teori pertama dinamakna Garden Path Theory (GPT). Menurut teori Fraizer tahun 1987 ini, orang membangun makna berdasarkan pengetahun sintatik. Ada dua principle dalam teori ini: (1) Minimal Attachment Principle (MAP), dan Late Closure Principle (LCP).

5.3 Pemrosesan Kalimat Non-harfiah
Sebagian teori menyatakan bahwa ada tiga tahap dalam pemrosesannya. Pertama, kita berikan tanggapan secara harfiah untuk tiap kata yang msuk terlebih dahulu. Kedua kita berikan makna harfiah terhadap kata-kata yang kita dengar itu. Dan ketiga mencari makna lain di luar makan harfiah yang mustahil itu.
5.4 Pemrosesan Secara Sintatik atau Semantik
Seperti dinyatakan sebelumnya, ada dua macam pendekatan yang membantu kita mempersepsi dan memahami ujaran, dan kedua pendekatan ini seolah-olah merupakan dua kelompok yang berdiri sendiri-sendiri. Dalam kenyataannya kedua kelompok ini saling membantu.
Kompetensi kita sebagai penutur asli tentang sintaksis bahasa kita tentu merupakan bekal intuitif yang membimbing kita untuk menerima, menolak, meragukan, dan mendeteksi ambiguitas suatu kalimat. Sebagai penutur asli, kita juga memiliki intuisi semantik, baik yang bersifat universal maupun yang lokal.

6. Penyimpanan Kata
6.1 Faktor Yang Mempengaruhi Akses Terhadap Kata
Pada dasarnya retrival kata dipegaruhi oleh pelbagai faktor yaitu, Frekuensi kata, Ketergambaran, Keterkaitan semantik, kategori gramatikal, dan fonologi.

6.2 Teori Tentang Makna
Ada dua teori untuk memahami makna yaitu teori fitur dan teori berdasarkan pengetahuan. Teori fitur pada dasarnya menyatakan bahwa kata memiliki seperangkat fitur, atau ciri yang menjadi bagian integral dari kata itu. Manusia dapat memahami ujaran karena mereka dapat mengenali kata-kata yang mereka dengar secara intuitif yang sebenarnya berdasarkan peda pengetahuan yang mereka miliki tentang bahasa dan budaya mereka.

BAB IV: PELAKSAAN TINDAK UJARAN
1. Tujuan Ujaran
Dalam berujar, manusia pastilah mempunyai tujuan. Tujuan itu berupa pemberian informasi kepada pendengar. Dengan demikian, suatu ujaran itu mengandung di dalamnya tiga unsur; (a) tindak ujaran (speech acts); (b) muatan proposisi (propositional content); (c) muatan tematik (thematic content).


1.1 Tindak Ujaran
Searli membagi tindak ujaran kedalam lima kategori yaitu: representative, direktif, komisif, ekspresif, dan deklarasi. (Searli 1969:34; Mey 2002:120).

1.2 Muatan Proposisi
Pada muatan proposisi pendengar meramu satu proposisi dengan proposes yang lain, makin lama makin meninggi shingga terbentuklah suatu pengertian yang menyeluruh dari proposisi-proposisi tersebut.

1.3Muatan Tematik
Muatan tematik merujuk pada pengertian akan adanya dua macam informasi dalam kalimat yakni, informasi lama (old atau given information) dan informasi baru (new information).

2.Langkah Umum dalam Pelaksanaan Ujaran
Langkah apa yang kemudian harus dilakukan oleh pendengar setelah memahami suatu ujaran tergantung pada macam ujaran yang didengar. Dari teori tindak ujaran kita ketahui bahwa ujaran hanya bisa representative, direktif, komisif, ekspresif, atau deklarasi.

3. Pelaksaan Ujaran
3.1Pelaksanaan Tindak Ujaran Representatif
Karena tindak ujaran representatif hanyalah merupakan pernyataan mengenai sesuatu, maka yang perlu kita lakukan adalah menghimpun muatan proposisi dan memahami mana yang merupakan informasi lama dan informasi yang baru.
3.2Pelaksanaan Tindak Ujaran Direktif
Tindakan ujaran direktif dapat dibagi menadi tiga kelompok yaitu: (a) pertanyaan dengan jawaban ya/tidak/bukan/belum; (b) pertanyaan yang memerlukan jawaban mana/(si, meng) apa; dan (c) perintah untuk melaksankan sesuatu.

3.3Pelaksanaan Tindak Ujaran Komisif
Seperti dinyatakan sebelumnya, tindak ujaran komisif berbeda dengan tindak ujaran direktif hanya dalam arahnya direktif kepada sipendengar, komisif kepada diri sipembicara. Karena tindak ujaran komisif tidak menanyakan atau memerintahkan sesuatu maka tidak ada perbuatan yang harus dilakukan.

3.4Pelaksaanaan Tindak Ujaran Ekspresif
Karena tindak ujaran ekspresif menyatakan keadan psikologis seseorang, maka pelaksanaannya pun bukan berupa perbuatan, khususnya perbuatan fisik.

3.5Pelaksaan Tindak Ujaran Deklarasi
Karena dalam tindak ujaran deklarsi diperlukan adanya syarat kelayakan agar kalimat yang diucapkan itu bermakna, maka langkah tambahan dalam memahami dan kemudian melaksanakan ujaran ini adalah untuk meyakinkan diri bahwa si pembicara itu memang mempunyai wewenang untuk mengatakan apa yang dia katakan.

4. Pelaksanaan Tindak Ujaran Tak Langsung
Tony, berapa kali mama telah bilang untuk tidak menaruh handuk dilantai? Mendengar kalimat seperti ini Tony tentu tidak akan menjawab dengan kalimat “lima kali, Ma”, atau “Nggak ingat, Ma berapa kali”. Dia sadari bahwa ibunya sedang marah dan menyuruhnya untuk mengambil handuk itu.
Ujaran seperti ini dinamakan ujaran tak langsung, artinya, apa yang dikatakan dengan apa yang dimaksud tidak sama. Ujaran seperti ini lebih sukar untuk dilaksanakan karena ada satu fase tambahan yang harus dilalui, yakni fase untuk mentransfer dari makna literal ke makna yang tak langsung. Dalam hal ini, prinsipel yang dinamakan prinsipel Kooperatif sangat membantu.

4.1Prinsipel Kooperatif
Dalam kita berkomunikasi kita juga mengikuti prinsipel seprti ini. Prinsipel yang dinamakan prinsipel kooperatif (cooperative principle) ini pertama kali dikemukakan oleh filosof H. Paul Grice pada tahun 1967. Pada dasarnya prinsipel ini memberikan landasan mengapa manusia saling berkomunikasi. Landasan ini disebut sebagai maksim (maxim). Grise memberikan empat macam maksim (Grice 1975; Thomas 1998:176-179; Mey 2001:17-79) yaitu: maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim hubungan (Relation), maksim cara (Manner).

4.2Pelaksanaan Ujaran dan Presipel Kooperatif
Kaitan antara pelaksanaan ujaran dan prinsipel kooperatif adalah bahwa dalam berhasa orang tidak selamanya menyatakan apa yang dimaksud secara rinci dan eksplisit. Perhatikan contoh dibawah ini:
Mama: Don, tuh diangkat telponnya.
Dony: lagi main, ma.
Dari segi sintaksis, kedua percakapan ini tidak ada hubungannya sama sekali. Akan tetapi, karena adanya maksim hubungan yang menekankan adanya informasi yang relevan untuk mencapai tujuan percakapan makanya mamanya tahu apa yang dimaksud oleh Dony.

4.3Langkah-langkah dalam Pelaksanaan Ujaran Tak-langsung
Ujaran tak langsung memerlukan pemerosesan yang lebih rumit dan lebih lama sebelum dapat dilaksanakan. Secara singkat proses tersebut adalah: memerlukan bunyi /j/ dan /r/ dalam bahasa Indonesia, tetapi tetap saja tidak dapat mengeluarkan kedua bunyi itu sampai keadaan biologisnya memungkinkan.

BAB III
PENUTUP

Psikolinguistik adalah ilmu hidrida, yakni ilmu yang merupakan gabungan antara dua ilmu psikologi dan linguistik. Dari segi ilmu pengetahuan, kajian dari penelitian mengenai bagaimana manusia mempersepsi ujaran dapat dikatakan masih sangat baru. Meskipun Willis tahun 1829 dan Helmholtz tahun 1859 telah mempelajari ciri fisik dari bunyi, penelitian bagaimana kita mempersepsi ujaran baru mulai perang dunia II (Gleason dan ratner 1988:109).

Masalah yang dihadapi dalam mempersepsi ujaran ini adalah bagaimana kita dapat menangkap dan kemudian mencerna bunyi-bunyi yang diujarkan dengan sengat cepat. Di samping kecepatan, bunyi dalam satu ujaran juga tidak diucapkan secara utuh tetapi sepertinya lebur dengan bunyi yang lain.
Bunyi juga dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu konsonan dan vokal. Perbedaan antara keduanya terletak pada pembuatannya.

Untuk membuat bunyi konsonan perlu diperhatikan tiga faktor yaitu: Fatkor pertama titik artikulasi, yakni tempat diman artikulator itu berada, berdekatan, dan berlekatan. Faktor kedua cara artikulasi yakni bagaiman caranya udara dari paru-paru itu kita lepaskan. Faktor yang ketiga ialah status pita suara.

Dalam berujar, manusia pastilah mempunyai tujuan. Tujuan itu berupa pemberian informasi kepada pendengar. Dengan demikian, suatu ujaran itu mengandung di dalamnya tiga unsur; (a) tindak ujaran (speech acts); (b) muatan proposisi (propositional content); (c) muatan tematik (thematic content).

analisis skripsi tahun 2010/2011

BAB I
PENDAHULUAN
Agar dapat berkomunikasi dengan baik diperlukan keterampilan berbahasa, sebab dengan keterampilan berbahasa yang dimiliki seseorang dapat menyampaikan dan menerima informasi yang tepat. Keterampilan berbahasa dibagi atas empat keterampilan yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dari keempat keterampilan bahasa tersebut yang akan dibahas adalah keterampilan membaca. Hal ini disebabkan masih sering ditemukan kurangnya kemampuan mahasiswa memahami isi wacana yang dibacanya. Bahkan ketika disuruh membaca dari surat kabar dan menganalis wacana tersebut, masih banyak siswa yang kurang mampu membedakan mana dari isi wacana tersebut yang merupakan fakta dan opini.
Jika siswa kurang mampu memahami isi berita surat kabar maka dikhawatirkan berdampak terhadap kurangnya wawasan terhadap pengetahuan siswa tentang peristiwa yang sedang berkembang. Padahal ilmu pengetahuan harus mengalami perkembangan dari waqktu ke waktu.
Kurangnya kemampuan siswa memahami isi surat kabar khususnya tentang fakta dan opini juga terbukti dari hasil penelitian Sahrina dewi (2003) dengan judul penelitian “Kemampuan Membedakan Fakta dan Opini Pada Surat Kabar Harian Waspada Oleh Siswa Kelas XI SMK Pembangunan Daerah Lubuk Pakam Tahun Pembelajaran 2009/2010”. Melalui penelitian ini nantinya dapat ditemukan jawabannya sehingga kemampuan siswa membedakan fakta dan opini dapat ditingkatkan.


BAB II
PEMBAHASAN

A.Analisis Pendahuluan
Latar belakang masalah yang ditulis oleh si peneliti belum sesuai, karena di dalam latar belakang peneliti tidak memaparkan apakah pembelajaran membadakan fakta dan opini di SMK dipelajari atau tidak. Seharusnya peneliti terlebih dahulu menjabarkan ada atau tidaknya pembelajaran fakta dan opini di SMK. Dengan demikian sangat jelas peneliti tidak memaparkan kajian rasional yang dapat mendukung kajian empirik dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti.
Dalam latar belakang ini peneliti telah memaparkan apa dan mengapa penelitian ini dilakukan. Tema, judul sudah bisa ditemukan ketika membaca latar belakang, selain itu mengapa masalah itu diteliti juga sudah terpapar jelas seperti di bawah ini:
“ hal ini disebabkan masih sering ditemukan kurangnya kemampuan siswa memahami isi wacana yang dibacanya. Bahkan ketika siswa disuruh membaca wacana dari surat kabar dan menganalisis wacana tersebut, masih banyak siswa yang kurang mampu membedakan mana dari isi wacana tersebut yang merupakan fakta dan opini”
Identifikasi masalah itu sudah mengemukakan kemungkinan-kemungkinan masalah yang timbul dari tema/topik/judul (Samsul Arif, 2011:72). Identifikasi masalah yang terdapat pada skripsi yang berjudul “Kemampuan Membedakan Fakta dan Opini Pada Surat Kabar Harian Waspada Oleh Siswa Kelas XI SMK Pembangunan Daerah Lubuk Pakam Tahun Pembelajaran 2009/2010”, belum sepenuhnya sesuai dengan isi latar belakang masalah. Berikut identifikasi masalah yang terdapat pada skripsi ini yaitu:

1)Pengetahuan siswa tentang fakta dan opini masih rendah
Permasalah pada point pertama ini sudah sesuai dengan latar belakang skripsi ini, dapat dilihat pada kutipan dbawah ini:
“ kurangnya kemampuan siswa mmahami isi surat kabar khususnya dalam tentang fakta dan opini juga terbukti dari hasil penelitian Sarina Dewi (2003) dengan judul penelitian Kemampuan Membedakan Fakta dan Pendapat Dalam Menganalisis Iklan Dimajalah Kartini Oleh Siswa Kelas X SMA RK Bintang Timur Rantau Prapat Tahun Pembelajaran 2002/2003. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa masih kurang mampu membedakan fakta dan opini”.
2)Siswa kurang mampu memahami fakta dan opini
Permasalahan yang terdapat pada point ini sebenarnya sama dengan permasalahan pada point pertama. Jadi, peneliti seharusnya tidak perlu memaparkan permasalahan ini pada identifikasi masalah.
3)Faktor-faktor penyebab kemampuan memahami fakta dan opini siswa
Permasalahan pada point ini tidak sesuai dengan latar belakang skripsi, karena peneliti tidak menjelaskan faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab adanya permasalahan ini. Permasalahan yang dipaparkan oleh peneliti tidak jelas, seharusnya peneliti memfokuskan pada satu permasalahan saja, apakah faktor-faktor penyebab kelebihan atau kelemahan dalam memahami fakta dan opini.
4)Alokasi waktu belajar di sekolah sangat terbatas sehingga pembelajaran materi fakta dan opini tidak luas dipelajari oleh siswa.
Permasalahan pada point ini tidak sesuai dengan latar belakang skripsi. Seharusnya peneliti harus menyesuaikan hal ini dengan standart isi.
5)Siswa kurang berminat membaca surat kabar khususnya tentang fakta dan opini
Permasalahan pada point ini sudah terdapat pada latar belakang walaupun hanya sekedar berupa pernyataan yang dituliskan oleh peneliti, karena seharusnya peneliti memaparkan data yang berhubungan dengan permasalahan ini agar lebih mendukung teori yang dijelaskan.
6)Metode pengajaran yang diterapkan guru dalam pembelajaran meteri fakta dan opini kurang tepat.
Permasalahan ini tidak dijelaskan dalam latar belakang masalah. Namun, pada kenyataannya memang banyak guru yang menggunakan metode pengajaran yang tepat dalam penyampaian materi sehingga menyebabkan siswa kurang paham dalam materi terebut.
7)Fakta dan opini yang dibahas pada surat kabar bisa bertemakan pendidikan, ekonomi, nsionalis, budaya, sosial, politik, seni, dan lain-lain.
Permasalah pada point terakhir ini tidak dijelaskan pada latar belakang masalah. Padahal permasalahan ini yang menjadi batasan masalah dalam skripsi ini.
Pembatasan masalah menurut Syamsul Arif dalam Diktat Pengantar Metodologi Penelitian adalah menetapkan/memilih salah satu masalah dari kemungkinan yang ada disertai argumentasinya. Terlihat pada pembatasan masalah di skripsi peneliti, peneliti sudah membatasi masalah dalam skripsi ini. Dapat dilihat pada kutipan dibawah ini:
“maka penelitian ini dibatasi pada kemampuan siswa membedakan fakta dan opini yang bertemakan pendidikan dari surat kabar harian waspada”.
Tetapi dalam pembatasan masalah ini peneliti tidak memaparkan argumentasi mengapa peneliti membatasi masalah tersebut. Hendaknya peneliti membuat argumentasinya, seperti dibawah ini:
“membedakan fakta dan opini mealui surat kabar akan sangat mudah, karena fakta dan opni merupakan dua sisi berita yang selalu muncul dalam surat kabar sehingga dengan mudah “siswa dapat membedakannya. Seperti menurut Tampubolon (1987:195) mengemuikakan bahwa isi berita surat kabar terbagi pada lima bagian yaitu berita, opini, iklan, pemberitahuan, dan fiksi”. Sementara tema pendidikan yang digunakan juga akan lebih mempermudahkan siswa dalam membedakan fakta dan opini yang sebelumnya sudah dibatasi oleh peneliti”.
Rumusan masalah yang dipaparkan oleh peneliti sudah jelas, karena peneliti telah menunjukkan semua variabel yang hendak diteliti. Dalam buku Sukardi (2003:29) menyatakan perumusan masalah yang baik, harus dapat mencakup dan menunjukkan semua variabel maupun hubungan variabel satu dengan variabel yang lain yang hendak diteliti. Mengenai bentuk pertanyaan masalah yang dirumuskan oleh peneliti sudah jelas dan tidak menimbulkan makna yang ganda. Adapun variabel yang digunakan oleh peneliti adalah variabel terikat. Seperti pada kutipan dibawh ini:
“kemampuan membedakan fakta dan opini pada surat harian waspada”
Dalam buku Syamsul Arif, 2011; 22 tujuan penelitian itu hendaknya dirumuskan dengan jelas dan konkrit, sehingga mudah untuk dicapai pencapaiannya. Adapun tujuan peneliti melakukan penelitian ini dapat dilihat pada kutipan dibawah ini:
“Untuk mengetahui kemampuan membedakan fakta dan opini yang bertemakan pendidikan dari surat kabar harian waspada oleh siswa kelas XI SMk Perbangunan Daerah Lubuk Pakam Tahun Pembelajaran 2009/2010”.
Dan pada kutipan dibawah ini:
“Untuk memperoleh gambaran tingkat kesulitan membedakan fakta dan opini yang bertemakan pendidikan dari surat kabar harian waspada oleh siswa kelas XI SMk Perbangunan Daerah Lubuk Pakam Tahun Pembelajaran 2009/2010”.
Selain tujuan, manfaat penelitian juga perlu dikemukakan secara jelas. Kalau tujuan menekankan sasaran yang ingin dicapai, sedangkan manfaat penelitian menguraikan kegunaan atau sumbangan yang bisa diberikan dari hasil penelitian tersebut. Penelitian bukan hanya sekedar mendapatkan kesimpulan, tetapi hendaknya mendapatkan kesimpulan yang bisa dipakai dan berguna bagi berbagai pihak. Adapun manfaat penelitian pada skripsi yang kami analisis adalah:
1)Sebagai bahan informasi bagi guru bidang studi bahasa Indonesia di SMK Perbangunan Daerah Lubuk Pakam tentang kemampuan siswa membedakan fakta dan opini pada surat kabar guna ditindaklanjuti.
2)Sebagai perbendaharaan bagi Jurusan Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa Dan Seni Unimed.
3)Sebagai penambah wawasan pengetahuan bagi pembaca tentang permasalahan yang diteliti.
4)Sebagai bahan kajian bagi peneliti lain yang bermaksud m,engadakan penelitian pada permasalahan yang sama atau berhubungan dengan permasalahan yang ditelitinya.
Pada Bab ini peneliti tidak menjelaskan tentang defenisi operasional. Tetapi peneliti memaparkan defenisi operasonal tersebut pada bab III. Seharusnya peneliti memaparkan hal ini pada bab I.

B.Analisis Landasan teoritis, kerangka konseptual, dan hipotesis penelitian
Landasan teoritis dalam skripsi ini belum jelas. Karena menurut buku Syamsul Arif dalam membuat landasan teoritis hendaknya penulis terlebih dahulu mengetahiu kemungkinan jawaban dari masalah yang diteliti. Yang tidak diketahui peneliti adalah jawaban yang pasti. Kepastian itulah yang ingin diketahui dari penelitian yang dilakukan. Sedangkan, dalam skripsi ini penulis hanya memaparkan pengertian-pengertian dari masalah yang diteliti, penulis tidak mengkaji masalah secara alamiah dan tidak dilandasi oleh konsep-konsep ilmiah dan teoritis.
Dalam skripsi ini peneliti hanya menjelaskan apa itu pengertian kemampuan, pengertian membedakan, pengertian fakta dan opini, isi berita surat kabar, fakta dan opini dalam surat kabar disertai dengan penjelasan-penjelasan yang mudah dimengerti. Seharusnya teori tersebut hanya disinggung sepintas saja. Bukankah peneliti meneliti kemampuan siswa dalam membedakan fakta dan opini dalam surat kabar? Itulah yang mestinya dipaparkan dalam landasan teoritis.
Hasil penelitian yang relevan berisi hasil-hasil penelitian yang sejenis dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Hal ini dikemukakan untuk memperkuat kajian teoritik yang dibuat oleh peneliti. Dalam skripsi ini peneliti tidak mencantumkan hasil penelitian yang relevan.
Kerangka konseptual menyatakan atau mengkonsepsikan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat berdasarkan teori, postulat, asumsi yang ada. Jika memungkinkan susunan suatu model atau diagram yang menyatakan alur hubungan variabel bebas dan variabel terikat.
Dalam kerangka konseptual yang dibuat oleh peneliti tidak terdapat hubungan yang jelas mengenai variabel terikat dengan variabel bebas. Karena dalam kerangka konseptual yang dibuat oleh peneliti hanya dijelaskan mengenai metode kemampuan membedakan dalam fakta dan opini, peneliti juga menjelaskan bagaimana hubungan fakta dan opini dalam surat kabar tersebut.
Hipotesis penelitian adalah jawaban sementara dari penelitian tersebut. Hipotesis penelitian diturunkan dari kerangka pemikiran. Menurut pengkritik hipotesis penelitian yang diajukan oleh peneliti tidak relevan dengan judul penelitian, kerena hipotesis yang diberikan oleh peneliti adalah Kemampuan Membedakan Serta Tingkat Kesulitan Membedakan Dalam Fakta Dan Opini Yang Bertemakan Pendidikan Dari Isi Surat Kabar Harian Waspada Oleh Siswa Kelas Xi Smk Pembangunan Daerah Lubuk Pakam Tahun Pembelajaran 2009/2010. Pengkritik menyalahkan hipotesis ini karena hipotesis ini menunjukkan perbandingan bukan menyatakan pengaruh metode isi berita surat kabar terhadap kemampuan siswa melalui fakta dan opini.
Menurut kami hipotesis yang diajukan oleh peneliti ini salah karena, hipotesis yang dibuat peneliti bukanlah hipotesis yang sebenarnya melaikan rumusan masalah yang telah disebutkan pada bab sebelumnya. Menurut buku Syamsul Arif merumuskan masalah berbeda dengan merumuskan hipotesis. Merumuskan masalah adalah konseptualisasi masalah penelitian sehingga jelas rumusan masalahnya, jelas ruang lingkupnya, jelas batasan konsep, dan batasan operasionalnya. Sedangkan merumuskan hipotesis adalah berpikir rasional dalam mengkaji teori posulat, yang berkenaan dengan masalah penelitian, untuk mengajukan hipotesis penelittian.

C.Analisis Metode Penelitian
Dalam bab ini tidak dilampirkan atau tidak dijelaskan tentang tujuan khusus dari penelitian. Padahal dalam hal ini akan menjelaskan tentang tujuan umum penelitian menjadi tujuan khusus penelitian yang rumusannya konsisten terhadap perumusan masalah. Tetapi hal yang pertama sekali yang dibahas oleh peneliti dalam bab tiga ini adalah lokasi dan waktu penelitian. Oleh karena itu sebagai pembaca tidak dapat mengetahui apa tujuan khusus dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti skripsi tersebut.
Dalam skripsi ini metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Deskriptif. Tetapi tidak dijelaskan mengenai desain penelitian yang digunakan dalam penelitian tersebut. Padahal desain itu penting untuk mengetahui seperti apa bentuk/desain yang digunakan peneliti dalam penelitiannya. Apakah dalam penelitian ini dilaksanakan pada satu kelompok atau menggunakan kelompok pembanding. Sebagai seorang peneliti harus menentukan metode dan desain penelitiannya.
Instrumen penelitian yang dikemukakan pada bab ini sudah lengkap. Karena telah memenuhi syarat-syarat dalam mengukur variabel penelitian tersebut. Karena Instrument atau alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes bentuk essay, yakni siswa ditugaskan untuk mengisis titik-titik yang kosong. Tes berfungsi untuk mengetahui kemampuan siswa sehingga menghasilkan nilai tentang prestasi siswa. Instrumen yang digunakan tes bentuk essay ini adalah berupa tes yang diujicobakan berisi 25 soal. Setiap jawaban yang benar diberi bobot skor 1sedangkan jawaban yang salah diberi bobot skor 0. Apabila siswa menjawab seluruhnya akan mendapat nilai seratus. Sedangkan uji coba instrument yang digunakan dalam skripsi ini dilakukan dalam dua tahap yaitu uji validitas (keshahihan item) dan uji reliabilitas.
Pengambilan sampel yang dilakukan oleh Peneliti adalah dengan menggunakan teknik random sampling. Dalam skripsi tersebut tidak ada penjabaran yang jelas tentang teknik random sampling tersebut. Padahal jika peneliti menjelaskan teknik tersebut pembaca akan lebih mudah untuk memahami isi dari skripsi tersebut. Adapun dalam penelitian ini populasi yang ada terbagi menjadi beberapa bagian berdasarkan kelas yang ada yaitu kelas XI1 sampai kelas XI5 .
Teknik analisis data juga sudah tepat, karena menjelaskan skala hasil pengukuran yang diperoleh dengan teknik statistik dan dengan kriteria yang diberikan. Dalam menguji dan menganalisis data, data tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Maka secara alamiah data tersebut perlu diuji dan dianalisis secara sistematis. Dalam penelitian ini teknik data yang digunakan adalah teknik deskriptif. Peneliti juga sudah menjelaskannya sesuai dengan langkah-langkahnya.
Pada skripsi ini, peneliti telah menjelaskan dimana dan kapan penelitian (lokasi dan waktu). Peneliti juga menjelaskan bagaimana penelitian itu dilakukan (langkah-langkah pelaksanaan penelitian tersebut). Lokasi penelitian ini dilaksanakan di SMK Pembangunan Daerah Lubuk Pakam. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 9-20 november 2009.

D.Analisis Hasil Penelitian
Dalam skripsi yang ditulis oleh peneliti, pengkritik tidak menemukan subjudul variabel yang diterima. Yang mana seharusnya dijelaskan kembali variabel penelitian, baik variabel bebas maupun variabel terikat. Pada bab IV langsung dijelaskan deskripsi datanya.
Dalam deskripsi hasil penelitian, isinya sudah bagus. Karena peneliti skripsi, sudah menjelaskan tujuan penelitian dan bentuk test apa yang digunakan. Bukan hanya itu saja, peneliti juga memaparkan perhitungan (hasil analisis data) misalnya menghitung rata-rata (median), distribusi frekuensi, standar deviasi, grafik/tabel, dan lain-lain.
Dalam skripsi ini, deskripsi hasil penelitian sudah baik menurut pengkritik. Karena perhitungan dan grafik telah dicantumkan oleh peneliti, sehingga peneliti mengetahui dari 38 siswa yang diteliti hanya 2 siswa yang memiliki kemampuan membedakan fakta dan opini dalam kategori sangat baik, sebanyak 10 siswa (26,32%) baik, 9 siswa (23,68%) cukup, 13 siswa (34,21%) kurang, dan 4 siswa (10,53%).
Pengujian hipotesis berisikan perhitungan hasil pengujian hipotesis lalu disimpulkan apakah hipotesis penelitian diterima atau ditolak berdasarkan kriteria pengujian yang telah ditentukan. Dalam skripsi ini, pengujian hipotesis tidak ada dijelaskan, langsung kepada pembahasan penelitian.
Pada pembahasan hasil peneliti, tidak menjelaskan tentang pembahasan teoritis mengapa hipotesis penelitian ditolak atau diterima, serta makna dari penolakan dan penerimaan tersebut. Peneliti hanya menjelaskan kemampuan siswa yang 38 mengikuti test dan menjelaskan perbedaan fakta dan opini, yang seharusnya dijelaskan pada Bab II, bukan Bab IV.

BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan terhadap skripsi yang berjudul Kemampuan Membedakan Serta Tingkat Kesulitan Membedakan Dalam Fakta dan Opini Yang Bertemakan Pendidikan Dari Isi Surat Kabar Harian Waspada oleh Siswa kelas XI SMK Pembangunan Daerah Lubuk Pakam Tahun Pembelajaran 2009/2010, dapat disimpulkan bahwa skripsi ini belum bagus untuk memenuhi prosedur penulisan skripsi yang sesuai dengan prosedur penulisan skripsi yang terdapat pada buku pedoman penulisan skripsi. (Metode penelitian, syamsul Arif: 2011)
Pada skripsi ini masih terdapat beberapa kekurangan baik format penulisan maupun ketidaklengkapan pemaparan teori/isi. Hal ini terdapat pada bab I, bab II dan bab III. Seperti pada bab I penulis hanya memaparkan kajian rasional dan tidak memaparkan kajian empiris, yang mendasari penulis mengangkat judul atau masalah dalam skripsinya, penulis memberikan Defenisi Operasional pada BAB III yang seharusnya terdapat pada bab I. Selain itu juga penulis masih belum tahu perbedaan antara perumusan masalah dengan perumusan hipotesis penelitian, sehingga perumusan masalah yang telah dipaparkan pada bab I terulang lagi pada bab II.
Oleh karena itu, skripsi ini belum bisa dikatakan baik karena masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Maka oleh karena itu pengkritik mengharapkan kepada penulis agar lebih jeli lagi dalam menuliskan sebuah karya ilmiah. Selain itu juga pengkritik juga mengharapkan kepeda pembaca agar lebih berhati-hati dan lebih teliti dalam membacakan skripsi ini, karena apabila pembaca tidak tahu jeli dalam membaca skripsi ini kemungkinan akan terjadi kesalahpahaman antara maksud penulis dengan maksud pembaca.
Demikianlah kritikan kami terhadap skripsi, pengkritik mengharapkan agar kritikan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama kepada rekan-rekan mahasiswa yang akan menyusul penulis untuk membuat skripsi dimasa yang akan datang.

Sabtu, 21 Mei 2011

Tugas Sastra anak
A Dog Named Vicky
(Vicky si Anjing)

OLEH:

DIK. REGULER A’09

ARIFAH PRIMADIATY T. 209111006
ASMI ELFRIANA SINAGA 209111007
KHAIRANI 209111039
NILA SARI HUTASUHUT 209411018







JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2011
A DOG NAMED VICKY
Chumky had not really planned to keep a dog. Not because she did not love them. But because dogs have such a short life. Before you know where you are, the cuddlesome pup turns into a full-fledged dog and by the time he becomes as much a part of the family as anyone else, it’s time to say goodbye! Having faced it once, Chumki did not want to go through it all over again. And her parents agreed. But some things in life happen unexpectedly. Vicky’s coming was one of them.
One evening Chumki was playing in the garden with her sister when a chubby, cream and black Alsatian dashed in. “Look!” cried Bobo, Chumki’s little sister. “where has he come from?”
“Oh, what a darling!” cried Chumki, petting him. “I wonder who he belongs to?” The dog licked both the sisters and then made a dash for the ball.
“He wants to play with us,” said Bobo. “Don’t you remember, this is exactly what our Jimmy used to do?’ Chumki’s eyes grew moist. Jim had been her special pet and she still missed him badly. She picked up the red ball and threw it to the dog. He leaped up and caught it, his tail wagging nineteen to the dozen.
“Vicky! Vicky!” shouted a man’s voice from the other end of the road. The dog pricked up his ears, dropped the ball and ran out of the gate.
“I wish I knew who he belonged to,” said Chumki wistfully.
‘He’s such a cute fellow. Wouldn’t it be lovely if we could play with him sometimes?”
“I don’t suppose the owner would let him play with strangers,” said Bobo. “I wonder how he managed to come at all.”
But Vicky came again. And again! He dashed in, eager and confident of being welcome, his tail thumping vigorously as he licked everyone by turn and settle down in a corner. He was so very winsome that everyone loved him fro the word go. Chumki’s mother tried to resist but failed miserably when she saw the love in his eyes and the mute appeal which seemed to say “Don’t send me away!” He belonged to someone else but he wanted to stay here! It was a hopeless tangle!
Gradually, his periods of stay grew longer and longer. Chumki’s mother did not allow the children to feed him. It was not right to feed someone else’s pet without permission, she told them firmly. But Vicky did not come for food.
He always came in around mid-morning, pushing the door open with his nose. He knocked with his paws when the door was locked. He sat on the steps patiently when the family was out. The children were never home when Vicky came, but he ambled in and lay on the carpet, waiting patiently for Chumki and Bobo to return from school. He stayed on until their father returned home from the office and the whole family had a game of ball in the garden. Then they would insist on his going back home. “Home! Vicky, HOME! GO, GO!” they would call out in a chorus. Vicky never failed to give them a reproachful look as he went out slowly, his tail tucked between his legs, looking the picture of misery. Chumki felt as miserable as he did. But there was nothing she could do! She could not keep someone else’s pet! That would be stealing.
“Why don’t you keep him altogether?” said Mrs Arora, their neighbour. “The owner would neither know nor care!”
“Do you know the owner?” asked Chumki’s mother in surprise.
“Of course!” said Mrs Mishra, another neighbour.
“Well, I don’t!” said Chumki’s mother.
“That’s because you’re new to the place,” said Mrs Arora.
“Mrs Vohra owns Vicky. She’s a great socialite. Always holding parties, organizing sales, exhibitions and things. She had no time for dogs!”
“Then why keep a dog at all?” asked Chumki’s mother indignantly.
“She didn’t,” said Mrs Mishra. “It was her son who brought Vicky as a week old pup. He loved him all right. But two years later he suddenly got a scholarship to go abroad. Vicky misses him badly. I suppose that’s why he keeps going to your place. There’s no one to love him now.”
Chumki’s parents met Mrs Vohra-most unexpectedly – the very day at a common friend’s place. “Your dog Vicky comes to our place quite often,” said Chumki’s mother.
“does he?” asked Mrs Vohra. “if he is a nuisance, I’ii send someone over to fetch him.”
“he is never a nuisance,” cried Chumki’s mother. “why, let’s ….” But Mrs Vohra was not interested. She merely handed her a card and turned away.
The next day Vicky absolutely refused to go back in the evening, in spite of commands and coaxing. He just sat on the steps, looking up miserably. “Oh, let my stay, Mummy,” cried Chumki and Bobo together. But their mother remembered Mrs Vohra’s card and went to ring her up. In a few minutes her car stood before their gate. The driver whistled. Vicky jumped up and got into the car.
He was back again the next morning. Chumki and Bobo, who were afraid that he wouldn’t be allowed to come again, give him an acstatic welcome. He looked hungry so Chumki brought him a large bowl of milk and Bobo fetched some slices of bread. For once their mother looked the other way! Vicky lapped up everything and lay down on the carpet with contented yawn.
He refused to go that evening, too. Mrs Vohra not at home so no one picked up the phone. “Let him stay, Mummy,” pleaded Chumki. But her mother would not agree. She shut the door firmly hoping Vicky would go away. But he didn’t. he sat on the steps all night until Mrs Vohra’s driver saw him there next morning and took him home. But Vicky stopped after that.
A whole week passed by. Chumki went about with red eyes and Bobo with a swollen nose. Their father had a kingsized headache that refused to go., while their mother snapped at everyone for no apperent reason.
The next piece of news which come their way was that Mrs vohra was going abroad to her son. She would let the house and pack off everything to her other son living in Bombay. Everything included Vicky, of course.
It was a full fortnight since they hed seen Vicky. It looked as though they would never see him again. Chumki was wrestling with decimals when she suddenly pricked up her ears. Mrs Arora was in the nect room, talking to her mother. “The Vohras are leaving this afternoon, “she said, “I saw their truck being loaded. It’s just about to leave.” Bobo jumped up, throwing away her painting book,” said Chumki and went off to the bedroom and switched of the light. She did not want anyone else to see her tears. Bobo went out. An hour passed. Or was it two hours?
Suddenly Chumki sat up. She herd the unmistakable sound of padded paws. In a moment Vicky dashed into the room. He was scratched in many places and was bleeding. But Chumki threw her arms around him, laughing and crying at the same time. “how did he get away?” asked Bobo running into the room. “Did the Vohras throw him out or did he jump out of the truck?”
Nobody ever knew. Or cared! Vicky was back. And that was all that mattered!








Terjemahan
VICKY SI ANJING
Chumki tidak begitu merencanakan untuk menjaga anjing. Bukan karena ia tidak menyukai anjing-anjing itu. Tetapi karena anjing punya kehidupan yang singkat. Anak anjing yg telah dipelihara dengan penuh perhatian seiring berjalannya waktu ia menjadi bagian dari keluarga, namun ketika ia merasa tidak disayangi lagi, ia akan meninggalkan mereka. Setelah mengalami hal itu sekali, Chumki tidak mau melaluinya lagi. Dan orang tuanya setuju akan hal itu. Tapi dalam hidup terjadi beberapa hal yang tak terduga. Vicky datang menjadi salah satu bagian dari keluarga Chumki.
Suatu malam Chumki bermain di taman dengan adiknya tiba-tiba Alsatian yang gemuk berbulu krim dan agak hitam berlari masuk. Adik Chumki's, Bobo menangis, "Lihat! darimana dia datang?"
"Oh, ada apa Sayang!" Seru Chumki, sembari memeluknya. "Aku bingung anjing ini milik siapa?" Anjing itupun menjilati keduanya dan kemudian berlari mengejar bola. "Dia ingin bermain dengan kita," kata Bobo. "tidakkah kau ingat, ini persis seperti apa yang biasa dilakukan Jimmy kepada kita?
Jimmy telah menjadi peliharaan spesial baginya, dan dia masih sangat merindukannya. Chumki mengambil bola merah dan melemparkannya ke anjing itu. Jim melompat dan menangkapnya, dia mengibaskan ekornya 12 sampai 19 kali. "Vicky! Vicky " seorang pria berteriak dari ujung jalan. Anjing itupun menaikkan telinganya, menjatuhkan bola dan berlari keluar dari pintu gerbang.
"Andai saja aku tahu dia milik siapa," kata Chumki sendu. "dia juga teman yang lucu. Alangkah senangnya jika kita bisa bermain dengannya sewaktu-waktu?"
"aku tidak yakin pemiliknya akan membiarkannya bermain dengan orang asing," kata Bobo. "Aku heran bagaimana dia bisa sampai kesini."
Tetapi, keesokan harinya Vicky datang lagi. Dia berlari masuk ke dalam rumah, bersemangat dan yakin akan ada yang menyambut kedatangannya, ekornya mengibas keras saat ia menjilat semua orang lalu berbalik dan menetap di sudut. Dia begitu sangat menawan, itulah yang dikatakan setiap orang yang melihatnya. Ibu Chumki berusaha menolak perasaanya tapi gagal total ketika dia melihat cinta di mata Vicky, dalam kebisuan Vicky memohon "Jangan usir aku !" dia tidak ingin bersama orang lain tetapi ia ingin tinggal di sini! Namun, itu adalah harapan yang sia-sia!
Secara bertahap, Vicky tumbuh semakin besar. Ibu Chumki tidak mengizinkan anak-anaknya untuk memberinya makan. Hal yang salah jika kita memberi makan hewan peliharaan orang lain tanpa izin, dengan tegas ia mengatakan kepada mereka. Tapi Vicky tidak datang untuk makanan.
Dia selalu datang di sekitar pertengahan pagi, lalu membuka pintu dengan hidungnya. Ia mengetuk dengan kaki ketika pintu terkunci. Dia duduk di tangga dengan sabar ketika keluarga itu keluar. Anak-anak tidak pernah berada rumah ketika Vicky datang, tapi ia berjalan dan berbaring di karpet, menunggu dengan sabar hingga Chumki dan Bobo kembali dari sekolah. Dia tetap berada disitu sampai ayah mereka pulang dari kantor dan seluruh keluarga bermain bola di kebun. Kemudian mereka memaksa Vicky pulang. pulang sana! hush! "teriak mereka serentak. Vicky tidak pernah gagal untuk mencela saat ia keluar perlahan-lahan, ekornya terselip di antara kakinya, wajahnya memperlihatkan kesengsaraan. Chumki merasa sengsara seperti dia. Tapi tidak ada yang bisa ia lakukan! Dia tidak bisa menjaga hewan peliharaan orang lain! Itu berarti mencuri.
"Mengapa kita tidak menjaganya bersama-sama?" Kata Bu Arora, tetangga mereka. "Pemiliknya tidak akan tahu dan tidak peduli!"
"Apakah kau tahu pemiliknya?" Tanya ibu Chumki kaget.
"Tentu saja!" Kata Bu Mishra, tetangganya yang lain.
"Yah, aku tidak tahu!" Kata ibu Chumki.
"Itu karena Anda orang baru disini," kata Bu Arora.
"Vicky itu milik ibu Vohra. Dia seorang sosialita yang selalu aktif dalam pengorganisasian penjualan, pameran dan lain-lain. Dia tidak punya waktu untuk mengurus anjingnya! "
"Lalu mengapa ia memelihara anjing?" Tanya ibu Chumki heran.
"Bukan dia yang memeliharanya," kata Bu Mishra. "Anaknya lah yang membawa Vicky. Dia benar-benar menyayangi Vicky. Tetapi dua tahun kemudian ia mendapat beasiswa ke luar negeri. Vicky sangat merindukannya. Aku kira itu sebabnya ia tetap pergi ke tempat Anda. Sekarang tidak ada seorang pun yang menyayanginya.
Tanpa diduga Orangtua Chumki bertemu dengan Bu Vohra di tempat seorang teman. " Vicky, anjing anda sering datang ketempat kami," kata ibu Chumki.
"Benarkah ?" Tanya bu Vohra. "Jika Vicky mengganggu, saya akan mengirim seseorang untuk menjemputnya."
"Vicky tidak pernah mengganggu," seru ibu Chumki. "Mengapa?” Tanya bu Vohra. Tetapi Bu Vohra tidak tertarik dengan pembicaraan ini. Dia hanya menyerahkan kartu nama dan berbalik. Hari berikutnya Vicky benar-benar menolak untuk pulang di malam harinya, meskipun dengan bujukan dan perintah. Dia hanya duduk di tangga, mendongak sedih. "Oh, biarkan dia tinggal disini, ibu" pinta Chumki dan Bobo bersama-sama. Tetapi ibu ingat kartu nama yang diberikan bu Vohra dan bermaksud untuk meneleponnya. Namun beberapa menit kemudian mobil bu Vohra telah berada di depan pintu gerbang mereka. Sopirnya membunyikan klakson. Vicky melompat dan masuk ke mobil.
Vicky kembali lagi keesokan harinya. Chumki dan Bobo yang takut Vicky tidak akan diizinkan untuk datang lagi, memberinya sambutan yang meriah. Vicky tampak lapar sehingga Chumki membawa semangkuk besar susu dan Bobo mengambil beberapa potong roti. Sesekali ibu mereka memandang ke arah lain! Vicky memakan semuanya dan berbaring di karpet sambil menguap puas.
Vicky juga menolak untuk pergi malam itu. Bu Vohra tidak di rumah sehingga tidak ada yang mengangkat telepon. "Biarkan dia tinggal, Ibu," pinta Chumki. Tapi ibunya tidak setuju. Dia menutup pintu berharap Vicky akan pergi. Tapi Vicky tetap disitu. ia duduk di tangga semalaman sampai sopir bu Vohra melihatnya di keesokan paginya lalu membawanya pulang. Setelah itu Vicky tidak pernah kembali. Seminggu telah berlalu. Chumki pergi dengan mata merah dan Bobo dengan hidung bengkak. Ayah mereka menolak untuk pergi karena sakit kepala, sementara ibu mereka membentak setiap orang tanpa alasan yang jelas.
Hari berikutnya mereka mendapat kabar bahwa bu Vohra telah ke luar negeri untuk mengunjungi anaknya. Dia menyiapkan segala keperluan untuk anaknya di Bombay. Semuanya termasuk Vicky.
Sudah dua minggu penuh berlalu, sejak mereka terakhir melihat Vicky. Ini tampak seolah-olah mereka tidak akan pernah melihatnya lagi. Chumki yang sedang bergulat dengan hitungan, lalu tiba-tiba ia menajamkan pendengarannya. Ibu Arora berada di ruang sebelah, berbicara kepada ibunya. "keluarga Vohra akan berangkat sore ini," katanya, "Aku melihat truk yang sedang memuat barang-barang mereka. Itu berarti mereka akan segera pergi."
Bobo melompat dan mencampakkan buku gambarnya," ayo kita lihat dan ucapkan selamat tinggal pada Vicky.
“ aku tidak mau pergi. Kepalaku sakit,” kata Chumki. Kemudian pergi ke kamar tidur dan mematikan lampu. Dia tidak ingin orang lain melihatnya menangis. Bobo keluar. Satu jam berlalu. Atau mungkin dua jam? Tiba-tiba Chumki duduk. Dia mendengar suara langkah kucing secara samar-samar. Beberapa saat kemudian Vicky berlari ke dalam ruangan. Tubuhnya penuh dengan cakaran dan berdarah. Kemudian Chumki memeluknya, tertawa dan menangis pada saat yang sama. "Bagaimana Vicky bisa kabur?" Tanya Bobo berlari ke dalam ruangan. "Apakah Vohra mengusirnya atau dia melompat keluar dari truk?"
Tak seorang pun tahu. Atau peduli! Vicky telah kembali. Dan itulah hal yang terpenting.


Analisis Unsur Ekstrinsik Cerita “Vicky si Anjing”
1. Nilai edukatif terdapat dalam kutipan: “Ibu Chumky tidak mengizinkan anak-anaknya untuk memberi Vicky makan. Hal yang salah jika kita memberi makan hewan peliharaan orang lain tanpa izin”.
Kutipan ini mengajarkan kita, sebelum melakukan sesuatu terlebih dahulu kita harus meminta izin kepada orang tua.
2. Nilai moral terdapat pada kutipan berikut : “Chumky tidak bisa menjaga hewan peliharaan orang lain, itu berarti mencuri..!!”
Dari kutipan ini kita dapat menemukan makna bahwa kita tidak boleh sembarangan memiliki atau mengambil sesuatu yang bukan hak kita.
3. Nilai sosial budaya terdapat pada kutipan : “Keluarga Vohra akan berangkat sore ini. Itu berarti mereka semua akan pergi, termasuk Vicky. Bobo melompat untuk mengucapkan selamat tinggal pada Vicky.
Kutipan ini mengungkapkan bahwa, di Amerika terdapat kebiasaan untuk mengucapkan selamat tinggal kepada siapapun, termasuk Vicky yang merupakan peliharaan keluarga Vohra.

Rendahnya Minat Baca Siswa di Indonesia

RENDAHNYA MINAT BACA SISWA DI INDONESIA
Oleh Nila Sari Hutasuhut
PENDAHULUAN
Membaca adalah jendela dunia, dengan membaca maka siswa bisa mengetahui banyak hal yang tidak diketahuinya. Kemampuan dan kemauan membaca akan mempengaruhi pengetahuan dan keterampilan (skill) seseorang. Banyaknya pengetahuan seseorang akan membantu dirinya dalam melakukan banyak hal yang sebelumnya tidak dikuasainya, sehingga seseorang yang banyak membaca memiliki kualitas yang lebih dari orang yang sedikit membaca.
Membaca adalah salah satu fungsi yang paling penting dalam hidup. Semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca, oleh karena itu kemampuan membaca akan membawa siswa tersebut kepada kondisi masyarakat belajar (learning society). Terwujudnya masyarakat belajar (learning society) akan membantu tercapainya bangsa yang cerdas (educated nation) yang memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) unggul sehingga mampu bersaing dengan bangsa lain.
Sesungguhnya sejak tahun 1972 UNESCO telah memprioritaskan masalah pembinaan minat baca. Pada tahun tersebut diluncurkan program yang disebut dengan program buku untuk semua (books for all), yang bertujuan untuk meningkatkan minat dan budaya baca masyarakat. Salah satu implementasi program ini adalah dicanangkan International Book Year 1972 (Tahun Buku Internasional 1972).
Di indonesia kebiasaan membaca belum terlihat menggejala. Kebiasaan membaca hanya menjadi perilaku sebagian kecil masyarakatnya, sehingga kemampuan membaca masyarakat indonesia menjadi rendah. Kondisi ini menyebabkan kurangnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masyarakat Indonesia yang mengakibatkan SDM di indonesia menjadi tidak kompetitif. Keadaan ini tentunya harus segera diatasi karena akan berpengaruh pada nasib masa depan bangsa indonesia.


PEMBAHASAN
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab kondisi rendahnya kemampuan membaca anak di Indonesia diantaranya:
1. Permasalahan di Dalam Lingkungan Sekolah.
Sekolah (pendidikan) merupakan sebagai salah satu tempat yang dipercaya untuk melahirkan masyarakat (siswa) yang mampu membaca dan memiliki bermacam pengetahuan. Rendahnya minat dan kemampuan membaca siswa akan memberi pengaruh pada kemampuan akademik siswa yang bisa berdampak pada kualitas kelulusan. Oleh sebab itu perlu diketahui beberapa hal yang menjadi penyebab rendahnya kemampuan membaca siswa di sekolah antara lain yaitu:
a. Terbatasnya sarana dan prasarana membaca, seperti ketersediaan perpustakaan dan buku-buku bacaan yang bervariasi.
Masih banyak sekolah-sekolah di Indonesia yang masih mengandalkan ketersediaan buku paket saja untuk kegiatan belajar di kelas, padahal ketersediaan buku-buku bacaan penunjang yang menarik dan bermutu akan sangat memotivasi siswa dalam memperluas pengetahuannya.
Di beberapa sekolah yang telah memiliki fasilitas perpustakaan juga belum memiliki pelayanan yang baik. Koleksi buku perpustakaan masih didominasi oleh koleksi buku paket. Bahkan fasilitas beberapa ruang perpustakaan masih sumpek, sempit, kurang ventilasi (gerah), penataan buku tidak teratur dan pada dasarnya belum memberikan kenyamanan, sehingga kegiatan membaca dalam perpustakaan menjadi membosankan, tidak mengasyikkan dan tidak nyaman.


b. Situasi pembelajaran yang kurang memotivasi siswa untuk mempelajari buku-buku tertentu di luar buku-buku paket.
Pembelajaran di kelas lebih sering berpusat pada guru atau sekedar kegiatan transfer ilmu dimana siswa hanya dijejali oleh informasi/pengetahuan dari guru dan jarang diajak berdiskusi atau diberi permasalahan tentang materi yang dibahas untuk diselesaikan bersama. sehingga siswa tidak termotivasi untuk mencari informasi dari sumber yang lain dan tidak terlatih untuk menambah pengetahuan melalui membaca.
c. Kurangnya model (dari kalangan guru) bagi siswa dalam hal membaca.
Beberapa guru belum menjadikan membaca sebagai kebutuhan pendidikan, hal ini dapat dilihat dari pemanfaatan waktu luang di sekolah bagi staf dan para guru. siswa lebih sering melihat gurunya main catur, merokok, ngorol, bersendau gurau, dan sebagainya pada saat waktu luang. Sehingga siswa tidak memiliki tauladan dari guru dalam hal gemar membaca.
2. Permasalahan di Luar Lingkungan Sekolah
a) Meningkatnya penggunaan teknologi informasi elektronik.
Berkembangnya teknologi informasi menggeser minat siswa terhadap aktivitas membaca buku. Gencarnya siaran Televisi (TV) yang mampu menawarkan beragam tayangan menarik sangat mampu menyita perhatian banyak siswa, namun hal ini tidak diiringi dengan gencarnya sajian yang semakin menarik dari media cetak atau buku. Apalagi aktivitas membaca lebih membutuhkan kemampuan kosentrasi dan keaksaraan/kebahasaan dari pada aktivitas menonton TV atau mendengar radio, sehingga menjadikan aktivitas membaca terkesan lebih berat (sulit).
Berkembangnya tehnologi ‘jempol’ (hand-phone, internet) menggeser minat siswa terhadap buku. Munculnya perangkat komunikasi bernama hand-phone yang menawarkan berbagai program murah berkomunikasi menjadi salah satu penyebab rendahnya kemauan membaca siswa, karena siswa lebih sering menghabiskan waktunya untuk mengirim sms dan ngobrol lewat handphone dari pada menghabiskan waktu untuk membaca, walaupun isi komunikasi tersebut boleh dibilang kurang penting. Demikian juga dengan maraknya program komunikasi yang menggunakan internet seperti Twitter, friendster dan facebook ternyata juga mampu mengalihkan perhatian sebagian besar siswa dari kebutuhan membaca buku.
b) Banyaknya keluarga yang belum menanamkan tradisi wajib membaca.
Untuk membentuk anak-anak yang memiliki kemampuan gemar membaca harus di mulai dari lingkungan terdekat anak yaitu keluarga. Karena dalam keluargalah anak akan meniru apa yang telah menjadi kebiasaan anggota keluarganya terutama orangtua. Tapi kenyataan yang terjadi kebanyakan orangtua dari anak-anak Indonesia lebih suka menonton TV dari pada membacakan buku untuk anak-anaknya di rumah. Mereka lebih sering membiarkan anak menonton TV dari pada harus repot-repot melatih kebiasaan membaca yang mungkin dapat dimulai dengan membacakan buku cerita, sehingga anak lebih akrab dengan TV dari pada dengan buku.
Demikian juga dengan prilaku orang orangtua yang lebih menyukai nonton TV, ngobrol dan ngerumpi dari pada membaca buku. Masih sangat sedikit orangtua yang mau menyempatkan diri membaca buku saat berada dalam rumah, orangtua lebih sering menyuruh anaknya belajar atau membaca buku tetapi anak tidak mendapatkan contoh nyata bagaimana orangtuanya juga belajar/membaca buku.
c) Keterjangkauan daya beli masyarakat terhadap buku.
Selain memang harga buku yang masih terbilang mahal, masyarakat juga belum bisa merasakan secara langsung keuntungan yang bisa didapat dari banyak membaca, terbukti belum ada sosialisasi kalau orang yang banyak membaca hidupnya akan lebih baik dan uangnya banyak. Masyarakat menganggap buku bukan sebagai kebutuhan, harga buku yang melebihi harga sembako dan manfaat membeli buku belum sebanding dengan manfaat dalam membeli sembako, buku masih menjadi barang mewah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Masyarakat Indonesia memang belum banyak yang menyadari bahwa membaca merupakan hal pokok dalam kehidupan yang penuh pembelajaran. Oleh sebab itu kemampuan membaca menjadi hal paling utama yang harus mendapat perhatian dari banyak pihak terutama orangtua, orang-orang yang bergerak dalam kependidikan, masyarakat dan juga pemerintah.
Untuk itu perlu dilakukan upaya untuk membangun kegemaran dan kemampuan membaca masyarakat Indonesia pada umumnya dan siswa pada khususnya, diantaranya :
1. Meningkatkan Layanan Perpustakaan di Sekolah dan Lingkungan Masyarakat
Ketersediaan bahan bacaan memungkinkan tiap siswa untuk memilih apa yang sesuai dengan minat dan kepentingannya. Dari situlah, tumbuh harapan bahwa siswa akan semakin mencintai bahan bacaan dan memiliki pengetahuan yang luas sehingga kemampuan berfikir kritis siswa akan semakin terasah. Selain perpustakaan dikembangkan di sekolah juga perlu dikembangkan perpustakaan berbasis masyarakat yang dikelola oleh masyarakat dengan anggaran swadaya masyarakat. Hal itu dapat dilakukan melalui:
a. Dibangunnya Perpustakaan Nasional dan perpustakaan daerah (di tingkat propinsi, kecamatan dan desa).
b. Penyadaran pada masyarakat sekolah dan diluar sekolah untuk bahu membahu dalam mengatasi keterbatasan sarana perpustakaan di wilayahnya dengan program ”donasi buku” atau “waqaf buku” atau pendanaan sukarela dari donatur tertentu dan dari warga yang lebih mampu untuk biaya operasional perpustakaan tersebut.
c. Penyediaan bahan bacaan yang variatif yang mendukung pembelajaran dan mendorong siswa menyukai buku. Beberapa siswa memiliki minat yang berbeda pada bentuk, cover, tampilan, dan desain buku yang berbeda dari tampilan buku-buku paket pelajaran walaupun tema dan pembahasannya sama. Karena mungkin juga minat baca siswa tidak hanya pada materi yang tertuang dalam pelajaran tetapi pada pengetahuan lain yang belum tersaji dalam pembelajaran dikelas. Oleh sebab itu pemerintah perlu menyediakan buku-buku bacaan yang variatif, menarik dan bermutu, khususnya di tingkat SD sebagai penentu minat baca siswa dan tahap awal siswa memahami manfaat buku.
d. Peningkatan kinerja kepegawaian perpustakaan. Pelayanan perpustakaan seperti kondisi ruangan yang cukup ventilasi, tidak sumpek/gerah, bersih, luas dan rapi dalam penataan indeks buku akan membantu pengunjung merasa nyaman dan bersemangat berkunjung keperpustakaan. Fasilitas pepustakaan juga sudah berbasis teknologi. Koleksi ilmu pengetahuan tidak hanya dalam bentuk buku dan kertas tetapi telah tersedia dalam berbagai sarana teknologi seperti CD dan data online yang lebih mudah diakses.
2. Memperbaharui Sistem Pembelajaran di Sekolah
Guru perlu memberikan tugas pembelajaran yang menantang dan menarik untuk siswa misalnya dalam proses kegiatan belajar guru memberikan/memunculkan masalah yang dapat diskusikan bersama dengan siswa sehingga dapat mendorong siswa untuk menggali banyak informasi melalui aktivitas membaca.
Sekolah juga perlu membuat program membaca setiap pekan melalui pendekatan bahasa seperti “whole language” yaitu suatu pendekatan pengajaran bahasa secara utuh, dimana keterampilan menyimak, membaca, menulis dan berbicara diajarkan secara terpadu. Contoh kegiatan misalnya program membaca senyap selama 15 menit yang dilakukan oleh semua warga sekolah, lalu membuat jurnal, ringkasan atau hasil karya tentang isi bacaan/buku yang telah dibaca yang selanjutnya dapat di pajang dan dikonteskan dalam bentuk tulisan atau pidato (presentasi), sehingga siswa termotivasi dalam membaca.
3. Membudayakan Cinta Baca Mulai dari Keluarga

1) Menumbuhkan minat membaca anak sejak usia dini (pra sekolah)
Mengenalkan buku-buku bacaan yang menarik perhatian anak seperti buku cerita atau buku bergambar. Minat membaca pada anak dibangun mulai dari minat terhadap buku, ketertarikan pada buku akan merangsang anak termotivasi memiliki kemampuan membaca dan membaca lebih banyak.
Membawa anak sesering mungkin ke pusat-pusat buku, seperti perpustakaan, toko buku, bursa buku (book fair), dan lain-lain. Membantu anak merancang kegiatan bermain yang melibatkan buku, seperti bermain peran menjadi pelayan di toko buku, membuat kliping bergambar dari buku, majalah atau koran tentang sesuatu misalnya buah-buahan, binatang, memberikan reward atas keberhasilan anak dengan hadiah buku.
2) Menyediakan perpustakaan keluarga.
Ketersediaan perpustakaan kecil keluarga akan membantu anggota keluarga terbiasa akrab dengan buku saat berada di rumah dan pada waktu-waktu berkumpul bersama anggota keluarga, hal ini juga membantu anak mengenali dan menyukai buku sejak dini walaupun buku tersebut sudah pernah dilihat atau dibacanya, terkadang anak tidak bosan untuk membaca ulang.
3) Menyediakan program wajib baca dalam keluarga.
Orangtua perlu menetapkan waktu untuk membaca. Tiap anggota keluarga, baik orangtua, anak-anak dan semua yang tinggal dalam rumah diminta untuk mematuhinya. Sebaiknya orangtua menyisihkan waktunya untuk membaca buku, atau sekadar menemani anak-anaknya membaca buku. Dengan begitu, anak-anak akan mendapatkan contoh langsung dari kedua orang tuanya.
4. Mengontrol Penggunaan Media Elektronik (TV, vidio game, handphone, internet).
Peran orangtua dan guru sangat dibutuhkan dalam upaya ini, guru dan orangtua bekerjasama memberi pemahaman kepada siswa/anak tentang dampak buruk penggunaan media elektronik yang tidak terkontrol dapat meyebabkan hilangnya waktu belajar dan menurunnya kosentrasi.
5. Memperbaiki Kerjasama Dengan Penerbit dan Percetakan Buku Dalam Pengadaan Buku Murah Berkualitas.
Pemerintah perlu mengupayakan kerjasama dengan penerbit dan percetakan buku bacaan dalam menekan harga buku yang belum sesuai dengan kemampuan daya beli masyarakat, hal ini mungkin dapat dilakukan dengan mengurangi atau bahkan membebaskan beban pajak dan biaya penerbitan atau percetakan, pemberian subsidi bagi penerbit buku sehingga harga buku dapat lebih terjangkau oleh masyarakat.

KESIMPULAN
Setelah mengetahui berbagai permasalahan yang menyebabkan rendahnya minat baca siswa dan masyarakat Indonesia yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan dan keterampilan seseorang sehingga memberi dampak pada kualitas kelulusan siswa di sekolah dan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia kedepannya, maka beberapa solusi atau upaya yang telah disebutkan di atas hendaknya dapat direalisasikan bersama.
Pemerintah perlu mengoptimalkan sarana membaca sehingga membantu sekolah dan masyarakat dalam menciptakan budaya membaca seperti peningkatan layanan perpustakaan dan penerbitan buku murah dan bermutu. Guru dan orangtua perlu membuat program-program tertentu untuk anak/siswanya dalam menumbuhkan minat baca dan meningkatkan kemampuan membaca dengan aktivitas yang menarik dan menantang. Anak/siswa juga perlu diberi pemahaman dan perlu belajar bagaimana mengontrol penggunaan media elektronik yang semakin gencar dan menarik, sehingga tidak mengganggu aktifitas belajarnya yang lebih banyak di peroleh dari membaca.
Masyarakat yang terdiri dari orangtua, guru, dan pemerintah hendaknya bersama-sama membantu siswa/anak untuk menjadi generasi yang cinta baca dengan memberikan pemahaman kepada anak tentang pentingnya membaca dan mengkondisikan lingkungan dimana anak tinggal (di sekolah dan di rumah) untuk terbiasa dengan aktivitas membaca. Sehingga aktivitas membaca bukan lagi aktivitas yang asing dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian pada akhirnya akan terwujud masyarakat yang gemar membaca dan masyarakat pembelajar yang menjadikan aktivitas membaca menjadi aktivitas utama. Sehingga masyarakat memiliki pengetahuan dan keterampilan tinggi. Kondisi ini akan membantu tercapainya bangsa yang cerdas dan terdidik (educated nation) yang akan menjadi Sumber Daya Manusia (SDM) unggul dan mampu bersaing dengan bangsa lain.
DAFTAR PUSTAKA
• Alfons Taryadi. (2003). Indonesia Baru. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
• Muhyiddin, dkk. (2005). Gerakan Pemasyarakatan Budaya Baca. Jakarta:Intermedia.
• Sondakh, Angelia, SE (2005), Perpustakaan dan Peningkatan SDM, Bandung : Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Daerah Jawa Barat.