Kamis, 02 Juni 2011

Pemerolehan Bahasa Anak Usia 2-4 Tahun

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Proses pemerolehan dan penguasaan bahasa anak-anak merupakan satu perkara yang rencam dan cukup menakjubkan bagi para penyelidik dalam bidang psikoliguistik. Bagaimana manusia memperoleh bahasa merupakan satu isu yang amat mengagumkan dan sukar dibuktikan. Berbagai teori dari bidang disiplin yang berbeda telah dikemukakan oleh para pengkaji untuk menerangkan bagaimana proses ini berlaku dalam kalangan anak-anak. Memang diakui bahwa disadari ataupun tidak, sistem-sistem linguistik dikuasai dengan pantas oleh individu anak-anak walaupun umumnya tiada pengajaran formal.

“…learning a first language is something every child does successfully, in a matter of a few years and without the need for formal lessons.” (Language Acquisition: On-line).

Walaupun rangsangan bahasa yang diterima oleh anak-anak tidak teratur. Namun mereka berupaya memahami sistem-sistem linguistik bahasa pertama sebelum menjangkau usia lima tahun. Fenomena yang kelihatan menakjubkan ini telah berlaku dan terus berlaku dalam kalangan semua masyarakat dan budaya pada setiap masa. Mengikut penyelidik secara empirikal, terdapat dua teori utama yang membincangkan bagaimana manusia memperoleh bahasa. Teori pertama mempertahankan bahwa bahasa diperoleh manusia secara alamiah atau dinuranikan. Teori ini juga dikenali sebagai Hipotesis Nurani dalam linguistik. Teori yang kedua mempertahankan bahwa bahasa diperoleh manusia secara dipelajari.


Kajian saintifik dalam bidang pemerolehan bahasa telah dimulakan sejak kurun ke-16 lagi (Zulkifly, 1990:326-331). Kajian ini dimulakan oleh Tiedeman, seorang ahli biologi berbangsa Jerman pada tahun 1787. Charles Darwin, pengazas teori evolusi turut menjalankan kajian dalam bidang pemerolehan bahasa pada tahun 1877. Kajian-kajian yang seterusnya telah dilakukan oleh Preyer pada tahun 1882 dan kajian Sally pada tahun 1885.

Pemerolehan bahasa merupakan satu proses perkembangan bahasa manusia. Lazimnya pemerolehan bahasa pertama dikaitkan dengan perkembangan bahasa anak-anak manakala pemerolehan bahasa kedua bertumpu kepada perkembangan bahasa orang dewasa (Language Acquisition: On-line).

Perkembangan bahasa anak-anak pula bermaksud pemerolehan bahasa ibu anak-anak berkenaan. Namun terdapat juga pandangan lain yang mengatakan bahwa terdapat dua proses yang terlibat dalam pemerolehan bahasa dalam kalangan anak-anak yaitu pemerolehan bahasa dan pembelajaran bahasa. Dua faktor utama yang sering dikaitkan dengan pemerolehan bahasa ialah faktor nurture dan faktor nature. Namun para pengkaji bahasa dan linguistik tidak menolak kepentingan tentang pengaruh faktor-faktor seperti biologi dan sekitarnya.

Kajian-kajian telah dijalankan untuk melihat sama ada manusia memang sudah dilengkapi dengan alat biologi untuk kebolehan berbahasa seperti yang dikatakan oleh ahli linguistik Noam Chomsky dan Lenneberg ataupun kebolehan berbahasa ialah hasil dari pada kebolehan kognisi umum dan interaksi manusia dengan sekitarannya. Mengikut Piaget, semua anak-anak sejak lahir telah dilengkapi dengan alat nurani yang berbentuk mekanikal umum untuk semua kebolehan manusia termasuklah kebolehan berbahasa. Alat mekanisme kognitif yang bersifat umum digunakan untuk menguasai segala-galanya termasuk bahasa. Bagi Chomsky dan Miller pula, alat yang khusus ini dikenali sebagai Language Acquisition Device (LAD) yang fungsinya sama seperti yang pernah dikemukakan oleh Lenneberg yang dikenali sebagai “Innate Prospensity for Language”.

Bayi-bayi yang baru lahir sudah mulai mengecam bunyi-bunyi yang terdapat di sekitarnya. Mengikut Brookes (dlm. Abdullah Yusoff dan Che Rabiah Mohamed, 1995:456), kelahiran atau pemerolehan bahasa dalam bentuk yang paling sederhana bagi setiap bayi bermula pada waktu bayi itu berumur lebih kurang 18 bulan dan mencapai bentuk yang hampir sempurna ketika berumur lebih kurang empat tahun. Bagi Mangantar Simanjuntak (1982), pemerolehan bahasa bermaksud penguasaan bahasa oleh seseorang secara tidak langsung dan dikatakan aktif berlaku dalam kalangan kanak-kanak dalam lingkungan umur 2-6 tahun. Hal ini tidak bermakna orang dewasa tidak memperoleh bahasa tetapi kadarnya tidak sehebat anak-anak.

Pemerolehan bahasa dikaitkan dengan penguasaan sesuatu bahasa tanpa disadari atau dipelajari secara langsung yaitu tanpa melalui pendidikan secara formal untuk mempelajarinya, sebaliknya memperolehnya dari bahasa yang dituturkan oleh ahli masyarakat di sekitarnya. Beliau seterusnya menegaskan bahwa kajian tentang pemerolehan bahasa sangat penting terutamanya dalam bidang pengajaran bahasa. Pengetahuan yang cukup tentang proses dan hakikat pemerolehan bahasa boleh membantu bahkan menentukan kejayaan dalam bidang pengajaran bahasa.

1.2 Rumusan Masalah
Sampel kajian yang pertama ialah seorang anak laki-laki yang bertutur dalam bahasa Indonesia. Bahasa tersebut merupakan bahasa ibu anak itu. Anak tersebut tinggal bersama-sama dengan ayah dan ibunya sendiri, tetapi kalau siang diasuh ibunya saja, karena ditinggal kerja oleh ayahnya. Anak tersebut dilahirkan pada 12 Desember 2009. Anak tersebut berumur dua tahun lima bulan. Nama lengkap anak tersebut ialah Audi Firmansyah M Siregar.

Sampel kajian yang kedua ialah seorang anak laki-laki juga yang bertuturan dalam bahasa Indonesia. Bahasa tersebut merupakan bahasa ibu si anak tersebut. Anak ini tinggal bersama keluarganya sendiri, tetapi anak ini sering berinteraksi atau bermain di lingkungan sekitarnya. Anak tersebut dilahirkan pada tanggal 26 Desember 2008. Anak tersebut berumur tiga tahun lima bulan. Nama lengkap anak tersebut ialah Andika Pratama.

Sample kajian yang ketiga ialah seorang anak perempuan yang bertuturan dalam bahasa Indonesia. Bahasa tersebut merupakan bahasa ibu anak tersebut. Anak ini tinggal bersama ayah dan ibunya sendiri, tetapi kalau siang hari dia di asuh oleh neneknya karena ditinggal kerja oleh ayah dan ibunya. Anak tersebut dilahirkan pada tanggal 8 Oktober 2008. Anak tersebut berumur tiga tahun tuju bulan. Dan nama lengkap anak tersebut ialah Meliza Yuspi.
Pendekatan interaksi yang digunakan dalam kajian ini memandangkan subjek kajian yang dipilih selalu berpeluang berinteraksi dengan anggota keluarganya. Bentuk interaksi observasi ini terdiri daripada interaksi yang tidak dirancang. Sebagai langkah untuk menjamin data kajian yang lebih autentik, latar yang tidak dirancang digunakan. Analisis pertuturan Audi dilakukan dalam berbagai situasi dan keadaan dalam lingkungan keluarganya sendiri. Pengalaman Audi juga digunakan dan dianggap sebagai alat kajian ini. Transkripsi pertuturan subjek kajian ini dibuat dalam bentuk dan sistem ejaan fonemik.
Sehingga berdasarkan latar belakang dalam subek kajian “Pemerolehan Bahasa Anak Usia Tiga Tahun Dalam Lingkungan Keluarga” dapat peneliti rumuskan yaitu Bagaimana ujaran setiap giliran tutur yang digunakan anak usia tiga tahun dalam bertutur?

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini dilakukan oleh peneliti adalah untuk dapat mengetahui bagaimana pemerolehan bahasa anak usia tiga tahun, dan mendapatkan gambaran mengenai bagaiman ujaran setiap giliran tutur yang digunakan anak usia tiga tahun dalam bertutur.


BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Pemerolehan Bahasa
2.1.1 Pengertian Pemerolehan Bahasa
Proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama (Bl) anak terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya. Pemerolehan bahasa anak-anak dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit.
Ada dua pengertian mengenai pemerolehan bahasa. Pertama, pemerolehan bahasa mempunyai permulaan yang mendadak. Kedua, pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual, yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik.
Penelitian mengenai bahasa manusia telah menunjukkan banyak hal mengenai pemerolehan bahasa, mengenai apa yang dilakukan atau tidak dilakukan seorang anak ketika belajar atau memperoleh bahasa (Fromkin dan Rodman, 1998:318).
1. Anak tidak belajar bahasa dengan cara menyimpan semua kata dan kalimat dalam sebuah kamus mental raksasa. Daftar kata-kata itu terbatas, tetapi tidak ada kamus yang bisa mencakup semua kalimat yang tidak terbatas jumlahnya.
2. Anak-anak dapat belajar menyusun kalimat, kebanyakan berupa kalimat yang belum pernah mereka hasilkan sebelumnya.
3. Anak-anak belajar memahami kalimat yang belum pernah mereka dengar sebelumnya. Mereka tidak dapat melakukannya dengan menyesuaikan tuturan yang didengar dengan beberapa kalimat yang ada dalam pikiran mereka.
Anak-anak selanjutnya harus menyusun "aturan" yang membuat mereka dapat menggunakan bahasa secara kreatif. Tidak ada yang mengajarkan aturan ini. Orang tua tidak lebih menyadari aturan fonologis, morfologis, sintaktis, dan semantik daripada

anak-anak. Selain memperoleh aturan tata bahasa (memperoleh kompetensi linguistik), anak-anak juga belajar pragmatik, yaitu penggunaan bahasa secara sosial dengan tepat, atau disebut para ahli dengan kemampuan komunikatif. Aturan-aturan ini termasuk mengucap salam, kata-kata tabu, bentuk panggilan yang sopan, dan berbagai ragam yang sesuai untuk situasi yang berbeda. Ini dikarenakan sejak dilahirkan, manusia terlibat dalam dunia sosial sehingga ia harus berhubungan dengan manusia lainnya. Ini artinya manusia harus menguasai norma-norma sosial dan budaya yang berlaku dalam masyarakat. Sebagian dari norma ini tertanam dalam bahasa sehingga kompetensi seseorang tidak terbatas pada apa yang disebut pemakaian bahasa (language usage) tetapi juga penggunaan bahasa (language use) (Dardjowidjojo, 2000:275).
Pemerolehan bahasa pertama erat sekali kaitannya dengan perkembangan sosial anak dan karenanya juga erat hubungannya dengan pembentukan identitas sosial. Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruh anak menjadi anggota penuh suatu masyarakat. Bahasa memudahkan anak mengekspresikan gagasan, kemauannya dengan cara yang benar-benar dapat diterima secara sosial. Bahasa merupakan media yang dapat digunakan anak untuk memperoleh nilai-nilai budaya, moral, agama, dan nilai-nilai lain dalam masyarakat.

2.1.2 Masa Waktu dan Perkembangan Pemerolehan Bahasa
Perkembangan pemerolehan bahasa anak dapat dibagi atas tiga bagian penting yaitu (a) perkembangan prasekolah (b) perkembangan ujaran kombinatori, dan (c) perkembangan masa sekolah. Perkembangan pemerolehan bahasa pertama anak pada masa prasekolah dapat dibagi lagi atas perkembangan pralinguistik, tahap satu kata dan ujaran kombinasi permulaan.
Perkembangan pralinguistik ditandai oleh adanya pertukaran giliran antara orang tua (khususnya ibu) dengan anak. Pada masa perkembangan pralinguistik anak mengembangkan konsep dirinya. la berusaha membedakan dirinya dengan subjek, dirinya dengan orang lain serta hubungan dengan objek dan tindakan pada tahap satu kata.

Anak terus-menerus berupaya mengumpulkan nama benda-benda dan orang yang ia jumpai. Kata-kata yang pertama diperolehnya tahap ini lazimnya adalah kata yang menyatakan perbuatan, kata sosialisasi, kata yang menyatakan tempat, dan kata yang menyatakan pemerian.
Perkembangan bahasa pertama anak lebih mudah ditandai dari panjang ucapannya. Panjang ucapan anak kecil merupakan indikator atau petunjuk perkembangan bahasa yang lebih baik dari pada urutan usianya. Jumlah morfem rata-rata per ucapan dapat digunakan sebagai ukuran panjangnya. Ada lima tahapan pemerolehan bahasa pertama. Setiap tahap dibatasi oleh panjang ucapan rata-rata tadi. Untuk setiap tahap ada Loncatan Atas (LA).
Walaupun perkembangan bahasa setiap anak sangat unik, namun ada persamaan umum pada anak-anak, ada persesuaian satu sama lain semua mencakup eksistensi, non eksistensi, rekurensi, atribut objek dan asosiasi objek dengan orang. Pada masa tahap 2 ada tiga sarana ekspresif yang dipakai oleh anak-anak, yang dapat membuat kalimat-kalimat mereka menjadi lebih panjang yaitu kemunculan morfem-morfem gramatikal secara inklusif dalam ujaran anak, pengertian atau penyambungan bersama-sama hubungan dua hal tersebut, dan perluasan istilah dalam suatu hubungan/relasi.
Perkembangan pemerolehan bunyi anak-anak bergerak dari membuat bunyi menuju ke arah membuat pengertian. Periode pembuatan pembedaan atas dua bunyi dapat dikenali selama tahun pertama yaitu (1) periode vokalisasi dan prameraban serta (2) periode meraban. Anak lazimnya membuat pembedaan bunyi perseptual yang penting selama periode ini, misalnya membedakan antara bunyi suara insani dan noninsani antara bunyi yang berekspresi marah dengan yang bersikap bersahabat, antara suara anak-anak dengan orang dewasa, dan antara intonasi yang beragam. Anak-anak mengenali makna-makna berdasarkan persepsi mereka sendiri terhadap bunyi kata-kata yang didengarnya. Anak-anak menukar atau mengganti ucapan mereka sendiri dari waktu ke waktu menuju ucapan orang dewasa, dan apabila anak-anak mulai menghasilkan segmen bunyi tertentu, hal itu yang akan jadi pembendaharaan mereka.

Perkembangan ujaran kombinatori anak-anak dapat dibagi dalam empat bagian yaitu perkembangan negatif/penyangkalan, perkembangan interogratif/pertanyaan, perkembangan penggabungan kalimat, dan perkembangan sistem bunyi. Ada tiga tipe struktur interogatif yang utama untuk mengemukakan persyaratan, yaitu pertanyaan yang menuntut jawaban ya atau tidak, pertanyaan yang menuntut informasi, dan pertanyaan yang menuntut jawaban salah satu dari yang berlawanan (polar). Penggabungan beberapa proposisi menjadi sebuah kalimat tunggal memerlukan rentangan masa selama beberapa tahun dalam perkembangan bahasa anak-anak.
2.2 Pemerolehan Tindak Tutur
Tindak tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa yang mengkaji bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Leech (1983:5-6) menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan); menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di mana, bilamana, bagaimana.
Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di dalam pragmatik dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di bidang ini seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan. Di dalam bukunya How to Do Things with Words, Austin (1962:1-11) membedakan tuturan yang kalimatnya bermodus deklaratif menjadi dua yaitu konstatif dan performatif. Tindak tutur konstatif adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang kebenarannya dapat diuji benar atau salah dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia.
Sedangkan tindak tutur performatif adalah tindak tutur yang pengutaraannya digunakan untuk melakukan sesuatu, pemakai bahasa tidak dapat mengatakan bahwa tuturan itu salah atau benar, tetapi sahih atau tidak. Berkenaan dengan tuturan, Austin membedakan tiga jenis tindakan: (1) tindak tutur lokusi, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna di dalam kamus dan menurut kaidah sintaksisnya. (2) tindak tutur ilokusi, yaitu tindak tutur yang mengandung maksud; berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan, dan di mana tindak tutur itu dilakukan,dsb. (3) tindak tutur perlokusi, yaitu tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur.
Pencetus teori tindak tutur, Searle (1975:59-82) membagi tindak tutur menjadi lima kategori:
1. Representative/asertif, yaitu tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkan
2. Direktif/impositif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar si pendengar melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu
3. Ekspresif/evaluatif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu.
4. Komisif, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya
5. Deklarasi/establisif/isbati, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru.
Tindak tutur juga dibedakan menjadi dua yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Penggunaan tuturan secara konvensional menandai kelangsungan suatu tindak tutur langsung. Tuturan deklaratif, tuturan interogatif, dan tuturan imperatif secara konvensional dituturkan untuk menyatakan suatu informasi, menanyakan sesuatu, dan mernerintahkan mitra tutur melakukan sesuatu.


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Subjek Penelitian/Sumber Data
Adapun subjek penelitian yang telah diteliti berjumlah 3 orang anak yang usianya berkisar 2-4 tahun. Berikut identitas masing-masing anak tersebut :
A. Indentitas Anak Pertama
1. Identitas Anak
Nama : Audi Firmansyah M Siregar
Tanggal Lahir :12 Desember 2009
Tempat Lahir : Jln. Bersama Gg. Matahari no 5. Medan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : Dua Tahun Lima Bulan
Anak Ke : 1
Alamat : Jln. Bersama Gg. Matahari no 5. Medan

2. Identitas Orang Tua
a. Ayah
Nama : Muharram Siregar
Tanggal lahir : 25 Desember 1977
Tempat lahir : Palopat Maria
Umur : 34 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jln. Bersama Gg. Matahari no 5. Medan

b. Ibu
Nama : Nursyawiyah Siregar
Tanggal lahir : 27 Juli 1989
Tempat lahir : Batu Tunggal
Jenis Kelmin : Perempuan
Umur : 21 Tahun
Pekerjaan : Mengurus Rumah Tangga
Alamat : Jln. Bersama Gg. Matahari no 5. Medan

B. Identitas Anak kedua
1. Identitas Anak
Nama : Andika Pratama
Tanggal Lahir : 26 Desember 2007
Tempat Lahir : Medan
Umur : 3 tahun 5 bulan
Anak Ke : 1
Alamat : Jl. Mesjid gg Pelita, Tembung

2. Identitas Orang Tua
a. Ayah
Nama : Ali Andi
Tanggal lahir : 23 Juli 1981
Tempat lahir : Tembung
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 30 Tahun
Pekerjaan : Wiraswata
Alamat : Jl. Mesjid gg Pelita, Tembung
b. Ibu
Nama : Sri Lestari
Tanggal lahir : 9 September 1986
Tempat lahir : Sei Rotan
Janis Kelamin : Perempuan
Umur : 25 Tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Jl. Mesjid gg Pelita, Tembung
C. Identitas Anak ketiga

1. Identitas Anak
Nama : Meliza Yuspi.
Tanggal Lahir : 8 Oktober 2008
Tempat Lahir : Medan
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : Tiga tahun enam bulan
Anak Ke : 2
Alamat : Jl. Mesjid gg Pelita, Tembung

2. Identitas Orang Tua
a. Ayah
Nama : Muhammad Iskandar
Tanggal lahir : 20 juli 1980
Tempat lahir : Tembung
Janis Kelamin : Laki-laki
Umur : 31 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. Mesjid, Gg Pelita, Tembung

b. Ibu
Nama : Handayani
Tanggal lahir : 30 April 1987
Tempat lahir : Batang Kuis
Umur : 26 Tahun
Janis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. Mesjid, Gg Pelita, Tembung


3.2 Teknik Pengumpulan Data
Peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yang diusulkan oleh Sudaryanto (1993:133-136), yaitu teknik simak libat cakap. Teknik ini berarti peneliti juga berpartisipasi langsung di dalam percakapan yang terjadi. Peneliti juga menggunakan teknik simak bebas libat cakap, di mana ia tidak terlibat dalam percakapan (hanya menyimak saja). Teknik ini dikombinasikan dengan teknik wawancara serta teknik catat. Data dikumpulkan secara natural dengan beberapa tambahan untuk memancing objek penelitian dalam memunculkan suatu ujaran untuk menanggapi sesuatu. Alat yang digunakan adalah pulpen, buku, dan hp. Alat ini digunakan untuk mendokumentasikan percakapan antara anak dan peneliti. Wawancara dilakukan ketika objek penelitian bercakap-cakap dengan satu atau dua orang teman atau dengan orang yang lebih tua. Selain wawancara, peneliti juga menggunakan metode pencatatan untuk mendukung data wawancara. Ketika objek penelitian bercakap-cakap, peneliti mencatat percakapan tersebut. Cara ini dilakukan terutama ketika peneliti sedang tidak terlibat di dalam percakapan tersebut atau ketika mengamati dari jarak yang tidak terlalu dekat.
3.3 Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil wawancara adalah berupa tuturan langsung objek penelitian dan cacatan tentang percakapan objek penelitian. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik interpretasi dengan cara menganalisis data sesuai dengan jenis-jenis tindak tutur yang ditetapkan dalam teori tindak tutur.
Pengumpulan data dilakukan selama 2 (dua) bulan dari bulan Maret 2011 hingga Mei 2011. Dan pelaksanaannya dilakukan di rumah ketiga anak tersebut. Penelitian ini telah peneliti lakukan sebanyak 8 kali observasi dengan situasi informal. Namun, tidak ada jadwal khusus untuk melakukan pengumpulan data.


a) Anak Pertama (Audi Firmansyah M Siregar)
Konteks : Memberikan anak mainan
Peneliti : Dari mana dek?
Audi : Hmmm (Dengan menunjukkan suatu tempat permainan)
Peneliti : Maen sama kakak yok?
Audi : Akh, ngantuk…
Peneliti : Kakak ada mainan lo!
Audi : analah.. (Manalah).
Peneliti : Ini sama kakak, sinilah biar kakak kasih…

b) Anak Kedua (Andika Pratama)
Konteks : Menanyakan ayah si anak
Peneliti : Tama, ayah kemana?
Andika : Kerja
Peneliti : Kerjanya dimana?
Andika : jauh…..
Peneliti : Tama, dah makan pa belum?
Andika : udah makan adek…

c) Anak Ketiga (Meliza Yuspi)
Konteks : Membujuk Anak
Peneliti : Cup… cup…. Udah besar kog nangis?
Meliza : Huu….(sambil menangis)
Peneliti : Liza kenapa…?
Meliza : jatuh……(sambil masih menangis)
Peneliti : Ya udah jangan nangis lagi, za kan udah besar, ntar gak cantik lagi lo…
Meliza : mama…….


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Analisis Bahasa Anak Pertama
Subjek peneleitian yang pertama adalah Audi Firmansya M Siregar, yang sehari-harinya dipanggil “Audi”. Dia dilahirkan di pada tanggal 12 Desember 2008. Ibunya Nursyawiyah Siregar dan ayahnya Muharram Siregar. Audi tumbuh dalam keluarga yang termasuk kelas menengah yang untuk kebutuhan sehari-hari maupun kebutuhan primer yang lain tercukupi. Disamping mainan seperti mobil-mobilan atau bola dan sebagainya, orang tua Audi juga banyak memberikan gambar-gambar, seperti gambar buah, kendaraan dan sebagainya.

Pengambil giliran (turn taking) merupakan satu strategi yang penting dalam suatu komunikasi khususnya dalam komunikasi dua hal. Dengan adanya strategi ini, suatu tuturan dapat berjalan dengan lancar dan teratur menurut prinsip-prinsip komunikasi. Dalam kajian ini, didapat bahwa ujaran setiap giliran untuk subjek kajian, Audi dengan peneliti. Hal ini mungkin disebabkan observasi yang dilakukan itu lebih merupakan tuturan yang berupa soal jawab antara Audi dengan peneliti. Oleh karena itu, dalam percakapan tersebut, Audi hanya berperan untuk menjawab pertanyaan yang dikemukakan oleh peneliti tadi.
Cuplikan wacana di atas membuktikan bahwa Audi dalam bertutur hanya menjawab pertanyan dengan menggunakan cari telunjuk. Tetapi Jumlah ujaran-ujaran yang diucapkan sangat pendek dan sangat sederhana. Akan tetapi dia belum dapat memahami semua ujaran yang kita sebutkan terhadapnya. Dan untuk meminta sesuatu pun dia tidak berbicara melainkan dia hanya menunjuk apa atau benda apa yang ia inginkan tersebut. Hal ini disebabkan karena bahasa pertama yang anak kuasai adalah bahasa yang sesuai dengan lingkungan pembelajar.
4.1.2 Analisis Bahasa anak Kedua
Subjek peneleitian yang kedua adalah Andika Pratama, yang sehari-harinya dipanggil “Tama”. Dia dilahirkan di pada tanggal 26 Desember 2007. Ibunya Sri Lestari dan ayahnya Ali Andi. “Tama” tumbuh dalam keluarga yang termasuk kelas menengah yang untuk kebutuhan sehari-hari maupun kebutuhan primer yang lain tercukupi. Orang tuanya sangat aktif dalam mengajaknya berbicara, hal ini menyebabkan kemampuan “Tama” dalam merespon percakapan sanga baik. Orang tuanya juga melengkapi mainan seperti mobil-mobilan atau bola dan sebagainya, orang tua Tama juga banyak mengenalkan gambar-gambar, seperti gambar buah, kendaraan dan sebagainya.

Pengambil giliran (turn taking) merupakan satu strategi yang penting dalam suatu komunikasi khususnya dalam komunikasi dua hal. Dengan adanya strategi ini, suatu tuturan dapat berjalan dengan lancar dan teratur menurut prinsip-prinsip komunikasi. Dalam kajian ini, didapat bahwa ujaran setiap giliran untuk subjek kajian, Tama dengan peneliti. Hal ini mungkin disebabkan observasi yang dilakukan itu lebih merupakan tuturan yang berupa soal jawab antara Tama dengan peneliti. Oleh karena itu, dalam percakapan tersebut, Tama berperan aktif dalam menjawab pertanyaan yang dikemukakan oleh peneliti tadi.

Dari cuplikan wacana di atas membuktikan bahwa Tama dalam bertutur menjawab pertanyan dari lawan tutur dengan baik. Dari jawaban-jawaban yang dituturkan tersebut sangat jelas bahwa dia sangat lancar dan mudah mencerna apa yang ditanyakan oleh peneliti terhadapnya. Dan hal-hal yang tidak ditanyakan pun dia menceritakannya. Terkadang dia menggunakan bahasa baku dalam percakapannya. Dia juga sering menggunakan kata-kata seperti “sudah”. Jumlah ujaran-ujaran yang diucapkan relatif panjang dan sangat mudah untuk dimengerti. Dia mampu menceritakan suatu hal kepada orang dewasa dengan sangat lancar. Hal ini disebabkan karena bahasa pertama yang dikuasai adalah bahasa yang sesuai dengan lingkungan pembelajar. Dan juga karena bahasa yang dipakainya telah dipengaruhi oleh lingkungan.

4.1.3 Analisis Bahasa Anak Ketiga

Subjek peneleitian yang ketiga adalah Meliza Yuspi, yang sehari-harinya dipanggil “Liza”. Dia dilahirkan di pada tanggal 8 Oktober 2008. Ibunya Handayani dan ayahnya Muhammad Iskandar. “Liza” tumbuh dalam keluarga yang termasuk kelas menengah atas yang kebutuhan sehari-hari maupun kebutuhan primer yang lain telah tercukupi dengan baik. Orang tuanya sangat memanjakannya dengan cara melengkapi mainan-maianan serta boneka-boneka kesukaannya.

Pengambil giliran (turn taking) merupakan satu strategi yang penting dalam suatu komunikasi khususnya dalam komunikasi dua hal. Dengan adanya strategi ini, suatu tuturan dapat berjalan dengan lancar dan teratur menurut prinsip-prinsip komunikasi. Dalam kajian ini, didapat bahwa ujaran setiap giliran untuk subjek kajian, Liza dengan peneliti. Hal ini mungkin disebabkan observasi yang dilakukan itu lebih merupakan tuturan yang berupa soal jawab antara Liza dengan peneliti. Oleh karena itu, dalam percakapan tersebut, Liza hanya berperan untuk menjawab pertanyaan yang dikemukakan oleh peneliti tadi. Dan respon yang diberikan Liza dalam percakapan tersebut kurang begitu aktif.

Dari cuplikan wacana di atas membuktikan bahwa Liza dalam bertutur hanya menjawab pertanyan dari lawan tutur. Dari jawaban-jawaban yang dituturkan tersebut sangat jelas bahwa dia tidak begitu mampu merespon pertanyaan dengan baik, sehingga jawaban yang diberikan hanya sepenggal kata saja. Dalam wacana di atas, jelas bahwa Liza mengucapkan kata-kata yang terpenggal. Jadi, dapat disimpulkan anak usia tiga tahun sebenarnya sudah bisa berkomunikasi, meskispun secara terbatas. Kamunikasi secara terbatas dalam tutur ini karena keadaan situasi yang sedang dialami Liza. Dalam keadaan menangis Liza secara tidak langsung akan memanggil yang mamanya, karena hanya mamanya orang yang terdekat (yang merawat) dia.


BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Sejalan dengan rumusan masalah dan tujuan penulisan yang disampaikan di bagian pendahuluan, maka sebagai kesimpulan dapatlah disampaikan hal-hal berikut.
Berdasarkan panjang ayat anak usia tiga tahun dalam bertutur pada umumnya mengucapkan kata-kata secara terpenggal. Serta penguasaan bahasa yang dikuasai anak diperoleh melalui tahapan-tahapan tertentu. Anak umur tiga tahun sudah mampu menyusun kalimat dalam bertutur meskipun masih sangat sederhana dan terbatas. Berdasarkan jumlah ujaran setiap giliran tutur dibuktikan anak tiga tahun dalam bertutur hanya menjawab pertanyaan dari lawan tutur.
Dari hasil penelitian ini, kami mendapatkan bahwa anak umur tiga tahun seperti “Tama” bertutur dengan baik kepada lawan tuturnya. Hal ini dikarenakan orang tuanya aktif mengajaknya berbicara sehingga dia memiliki kemampuan bertutur yang lebih baik jika dibandingkan dengan kedua anak lainnya yang kami teliti. Oleh karena itu faktor lingkungan sangat mempengaruhi pemerolehan bahasa pada anak.

5.2 Saran
Adapun saran-saran perbaikan yang dapat kami berikan untuk melengkapi keilmuan kebahasaan anak khususnya pada penelitian pemerolehan tindak tutur pada anak usia 2-4 tahun ialah:
1. Orang tua harus mampu memberikan input bahasa yang baik kepada anaknya, karena anak umur 2-4 sangat peka dalam menirukan kata-kata yang didengarnya.
2. Perilaku pertuturan yang dikaji berdasarkan jenis-jenis tindak tutur yang dilakukan terhadap bahasa lain semisal bahasa ibu (daerah) dari anak usia 2-4 tahun.

DAFTAR PUSTAKA

Dardjowidjojo, Soenjono dan Unika Atma Jaya. 2000. Echa Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Dardjowidjojo, Soenjono dan Unika Atma Jaya. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Anggota IKAPI DKI.
Yuniarti. 2010. Kompetensi Tindak Tutur Direktif Anak Usia Prasekolah. Semarang : Universitas Diponegoro.
Kushartanti, B. -----. Strategi Kesantunan Bahasa pada Anak-anak Usia Prasekolah: Mengungkapkan Keinginan. Jakarta : Universitas Indonesia.
Halijah, Abd dan Hamid. 1996. Bagaimana Manusia Memperoleh Bahasa?. Jakarta: Pelita Bahasa (Jurnal penyelidikan IPBL, jilid 7, 2006)
http://www.infodiknas.com/pemerolehan-bahasa-anak-usia-tiga-tahundalam-lingkungan-keluarga/

CERPEN

TAK ADA YANG BERUBAH

Oleh Nila Sari Hutasuhut
Aku berjalan menyusuri gang setapak dan berliku dari rumah-rumah besar menuju jalan raya, hendak menemui seseorang dari masa lalu. Sebenarnya bukan hendak menemui tapi hanya sekedar lewat depan rumahnya yang di pinggir jalan raya untuk melihat dia yang sedang duduk di depan rumahnya. Namun orang yang dimaksud tidak ada. Aku kecewa tak melihat wajah pujaan hati. Padahal liburan sudah hampir usai. Sepertinya aku tak akan lihat wajahnya lagi untuk beberapa bulan ke depan. Kuliah padat menantiku di Medan. Jadi aku meneruskan jalanku. Berhenti sejenak, berpikir mau kemana aku sekarang.
Di sepanjang jalan aku melihat kiri kanan. Tak banyak berubah. Masih ada tukang cukur yang dulu pernah beberapa kali dia potong rambut di sana. Masih ada warung yang sering kudatangi membeli jajanan. Aku ingat ibu setengah baya yang menjaga warung, tetapi tak dapat kulihat wajahnya hari ini. Kulangkahkan kakiku terus ke depan. Beberapa meter di depanku kilang padi yang kutuju. Tepat di sebelah kananku sekarang adalah kantor pos tua yang tak pernah disentuh orang lagi. Aku ingat beberapa kali aku pernah mengirim surat di kantor pos itu.
Kilang padi merupakan salah satu tempat bermain favoritku waktu kecil. Bermain perosotan atau menangkap belakang yang menempel didaun ataupun didinding kilang padi. belalang itu kutangkap dengan tanganku sendiri. Aku sangat ahli melakukannya.
Pandanganku dimanjakan oleh hamparan sawah hijau membentang luas di sebelah kiriku. Gunung menjulang tinggi di kejauhan. Sejauh mata memandang semuanya hijau. Kuhirup udara sore sebanyak yang aku bisa. Udaranya bersih dan segar. Rasanya tak ingin kembali ke kota dimana udara bersih sangat langka dan warna hijau seringnya hanya didapat dari warna angkot (angkutan umum) nomor 40, 60, dan 65 .
Aku berjalan pelan-pelan karena tak ingin cepat sampai dipersimpangan menuju kampungku yang terdapat beberapa meter di depanku. Nampak di depanku sekarang adalah beberapa pemuda dari kampungku yang sedang memancing ikan di sawah entah punya siapa. Ada seorang yang bermain gitar di undakan semen di sebelah sawah. Setelah kuamati ternyata dia tetanggaku yang seumuran denganku. Karena tak begitu akrab, jadi aku tetap berdiri jauh dari mereka sambil menonton pertunjukan mereka. Aku jadi ingat bahwa seumur hidup aku belum pernah memancing ikan. Aku juga tak pernah berniat melakukannya.
Sudah cukup lama aku mengamati mereka. Beberapa orang melihat kepadaku namun tak ada yang menyapa. Aku memang tak akrab dengan orang-orang itu walaupun aku tahu nama mereka satu per satu. Rasanya sudah cukup aku mengenang masa kecil. Aku berjalan menuju persimpangan kampungku.
Di depanku ada seorang gadis yang sepertinya kukenal. Dia berjalan ke arahku, semakin mendekat. Tentu saja, dia teman SMA-ku dan teman lesku dulu. Aku tahu dia melihat kepadaku namun dia langsung menoleh ke arah lain, mengamati sesuatu yang kutahu itu tak ada. Sambil berjalan aku melihatnya terus namun dia tetap melihat ke arah lain. Dia memang tak ingin atau mungkin sedang malas menyapaku. Padahal beberapa bulan lalu kami berpapasan, kami saling menyapa seperti biasa.
Apakah dunia ini telah berubah? Apakah bertegur sapa adalah hal sulit untuk dilakukan sekarang ini? Mereka semua berubah! Atau mereka tak melihatku? Apa aku tak terlihat?
Aku memutuskan akan memastikannya dengan bercermin di kaca gerobak sate tetangga yang terletak beberapa langkah lagi di depan. Sayang sekali, ternyata gerobak satenya sudah tak berada disitu lagi. Sepertinya krisis ekonomi tak berpihak pada usahanya jualan sate. Kupikir lagi, bodoh sekali rasanya jika aku harus bercermin di kaca gerobak sate untuk melihat bayanganku ada atau tidak. Aku tersenyum malu dengan ide bodohku itu.
Rumahku sudah dekat, tinggal beberapa meter lagi. Perjalanan singkatku mengelilingi kampung cukup melelahkan. Lima belas menit hidupku, aku isi dengan kenangan-kenangan indah masa lalu yang tak bisa kubeli di toserba manapun. Agak berat kulangkahkan kaki ini menuju rumahku sendiri. Enggan pulang, inginnya aku terus berjalan di duniaku yang tak kenal duka, dunia masa kecilku. Namun tetap saja kuseret kaki ini menuju rumah. Kembali ke rumah atau tepatnya kembali ke kenyataan hidup, masalah di depan mata.
Siti dan yang lainnya (teman SMA) melihat ke arahku dengan pandangan aneh. Aku tak memperdulikannya dan juga tak menyapanya. Aku masih tersinggung karena tadi diabaikan saat berpapasan di depan rumah Pak Endi. Mereka bertiga sekarang kompak meninggalkanku begitu saja, pergi ke arah rumahku yang bagian depan. Lalu masuk ke dalam rumah. Mereka masuk ke dalam rumahku? Mau apa mereka?. Aku mengikuti mereka dengan tergesa. Aku lihat di ruang tamu banyak orang berkerumun. Banyak diantaranya yang mengenakan pakaian hitam. Entah kenapa perasaanku tak enak. Dan entah kenapa pikiranku hanya tertuju pada satu orang, yaitu bapakku.
Na’udzubillahimindaliq. Dalam hati aku berucap beribu kali. Bapak sudah renta, sudah sering sakit-sakitan. Ketakutanku selama ini adalah jika Allah memutuskan sudah saatnya bagi Bapak beristirahat dari segala lelah deritanya.
Aku takut, Aku tak berani masuk. Aku menunggu cukup lama di luar rumah, tak berani masuk. Orang-orang berbaju hitam makin banyak menghampiri rumahku. Air mataku meleleh. Kenapa harus sekarang ya Allah? Impianku untuk mengajak Bapak saat wisudaku tak bisakah Engkau kabulkan?
Astagfirullah. Aku beristigfar sebanyak aku bisa karena tak selayaknya aku meragukan kemampuan Dia Sang Maha Kuasa. Cukup! Aku membentak diriku sendiri. Aku akan masuk ke dalam rumah. Di depan pintu ruang tamu aku melihat sosok kaku, terbujur mati di depan mataku. Aku tak tahan lagi menahan tangis. Semua mata pelayat tertuju pada mayat bisu di tengah ruang tamu. Tak sedikit di antara mereka yang menunduk terisak.
Aku berjalan lemas mendekati jenazah bapakku. Semua orang tak ada yang menegur atau sekedar menepuk-nepuk pundakku sebagai tanda empati. Semua sibuk dengan kesedihan masing-masing. Aku teringat ibuku. Sekarang Bapak sudah kembali bertemu dengan kekasih sejatinya, pikirku. Aku duduk di sebelah jenazah Bapak. Tak sanggup aku menyibak kain penutup wajahnya. Seorang lagi pelayat datang histeris. Ternyata bibiku, adik dari Bapak. Dia menghampiri Bapak lalu duduk lama menunduk, mencoba menghentikan tangisnya. Dia tak melihatku atau entah bagaimana, tapi aku mulai merasa aneh dengan seluruh penghuni ruang tamu ini. Apa kalian tak memperdulikanku?!
Akhirnya dia gerakkan tangannya, menyibak penutup wajah yang enggan kubuka tadi perlahan. Aku menunduk tak mau melihat.
“Dea! Dea!” Bibiku meraung memanggil namaku. Aku mengangkat kepalaku ingin menjawab panggilan bibiku. Namun tak ada daya untuk mengucapkan sepatah kata, setelah kulihat wajah jenazah di hadapanku ini. Wajahku sendiri.
Apa ini? Apa maksud semua ini? Tuhan mempermainkanku? Aku harus segera bangun dari mimpi ini. Aku tak suka mimpi seperti ini.
Aku coba menarik diriku dari alam mimpi dengan memejamkan mata sekuat tenaga sambil memerintahkan otakku untuk membangunkan ragaku.
Bangun! Bangun! Bangun! Bangun! Kubuka mataku. Tak ada foto yang biasa kulihat di depanku, jika aku bangun tidur. Foto yang kupasang di dinding, tepat di hadapan ranjangku. Fotoku dan kedua orang tuaku. Alih-alih foto itu, wajah pucat pasi yang kulihat dihadapanku. Wajah jenazahku.
“Dea! Dea!” Bibiku meraung semakin keras. Seorang pelayat menenangkannya dan menyeretnya mundur dari jasadku.
“Dimana bang Rudi?” Sekarang Bibi menanyakan keberadaan bapakku.
“Di kamar. Dari tadi tak sadarkan diri. Bi Nana yang menjaga.” Pantas tak kulihat dimana Bapak. Orang yang kukira sudah tak ada sekarang tak jauh beda keadaannya denganku. Sedang tak sadarkan diri, bedanya aku tak akan pernah sadar kembali.
Aku melihat wajahku kembali. Entah mengapa aku merasa melihat wajah penuh kedamaian. Kedamaian yang kurasakan terakhir kali sebelum aku mati. Aku teringat jalan singkatku berkeliling kampung beberapa saat tadi. Andai saja gerobak sate itu ada. Setidaknya aku akan tahu lebih cepat. Lucu. Aku tersenyum menertawakan diriku sendiri.
Kini aku tahu. Tak ada yang berubah. Mereka tak berubah. Akulah yang berubah.