Kamis, 02 Juni 2011

CERPEN

TAK ADA YANG BERUBAH

Oleh Nila Sari Hutasuhut
Aku berjalan menyusuri gang setapak dan berliku dari rumah-rumah besar menuju jalan raya, hendak menemui seseorang dari masa lalu. Sebenarnya bukan hendak menemui tapi hanya sekedar lewat depan rumahnya yang di pinggir jalan raya untuk melihat dia yang sedang duduk di depan rumahnya. Namun orang yang dimaksud tidak ada. Aku kecewa tak melihat wajah pujaan hati. Padahal liburan sudah hampir usai. Sepertinya aku tak akan lihat wajahnya lagi untuk beberapa bulan ke depan. Kuliah padat menantiku di Medan. Jadi aku meneruskan jalanku. Berhenti sejenak, berpikir mau kemana aku sekarang.
Di sepanjang jalan aku melihat kiri kanan. Tak banyak berubah. Masih ada tukang cukur yang dulu pernah beberapa kali dia potong rambut di sana. Masih ada warung yang sering kudatangi membeli jajanan. Aku ingat ibu setengah baya yang menjaga warung, tetapi tak dapat kulihat wajahnya hari ini. Kulangkahkan kakiku terus ke depan. Beberapa meter di depanku kilang padi yang kutuju. Tepat di sebelah kananku sekarang adalah kantor pos tua yang tak pernah disentuh orang lagi. Aku ingat beberapa kali aku pernah mengirim surat di kantor pos itu.
Kilang padi merupakan salah satu tempat bermain favoritku waktu kecil. Bermain perosotan atau menangkap belakang yang menempel didaun ataupun didinding kilang padi. belalang itu kutangkap dengan tanganku sendiri. Aku sangat ahli melakukannya.
Pandanganku dimanjakan oleh hamparan sawah hijau membentang luas di sebelah kiriku. Gunung menjulang tinggi di kejauhan. Sejauh mata memandang semuanya hijau. Kuhirup udara sore sebanyak yang aku bisa. Udaranya bersih dan segar. Rasanya tak ingin kembali ke kota dimana udara bersih sangat langka dan warna hijau seringnya hanya didapat dari warna angkot (angkutan umum) nomor 40, 60, dan 65 .
Aku berjalan pelan-pelan karena tak ingin cepat sampai dipersimpangan menuju kampungku yang terdapat beberapa meter di depanku. Nampak di depanku sekarang adalah beberapa pemuda dari kampungku yang sedang memancing ikan di sawah entah punya siapa. Ada seorang yang bermain gitar di undakan semen di sebelah sawah. Setelah kuamati ternyata dia tetanggaku yang seumuran denganku. Karena tak begitu akrab, jadi aku tetap berdiri jauh dari mereka sambil menonton pertunjukan mereka. Aku jadi ingat bahwa seumur hidup aku belum pernah memancing ikan. Aku juga tak pernah berniat melakukannya.
Sudah cukup lama aku mengamati mereka. Beberapa orang melihat kepadaku namun tak ada yang menyapa. Aku memang tak akrab dengan orang-orang itu walaupun aku tahu nama mereka satu per satu. Rasanya sudah cukup aku mengenang masa kecil. Aku berjalan menuju persimpangan kampungku.
Di depanku ada seorang gadis yang sepertinya kukenal. Dia berjalan ke arahku, semakin mendekat. Tentu saja, dia teman SMA-ku dan teman lesku dulu. Aku tahu dia melihat kepadaku namun dia langsung menoleh ke arah lain, mengamati sesuatu yang kutahu itu tak ada. Sambil berjalan aku melihatnya terus namun dia tetap melihat ke arah lain. Dia memang tak ingin atau mungkin sedang malas menyapaku. Padahal beberapa bulan lalu kami berpapasan, kami saling menyapa seperti biasa.
Apakah dunia ini telah berubah? Apakah bertegur sapa adalah hal sulit untuk dilakukan sekarang ini? Mereka semua berubah! Atau mereka tak melihatku? Apa aku tak terlihat?
Aku memutuskan akan memastikannya dengan bercermin di kaca gerobak sate tetangga yang terletak beberapa langkah lagi di depan. Sayang sekali, ternyata gerobak satenya sudah tak berada disitu lagi. Sepertinya krisis ekonomi tak berpihak pada usahanya jualan sate. Kupikir lagi, bodoh sekali rasanya jika aku harus bercermin di kaca gerobak sate untuk melihat bayanganku ada atau tidak. Aku tersenyum malu dengan ide bodohku itu.
Rumahku sudah dekat, tinggal beberapa meter lagi. Perjalanan singkatku mengelilingi kampung cukup melelahkan. Lima belas menit hidupku, aku isi dengan kenangan-kenangan indah masa lalu yang tak bisa kubeli di toserba manapun. Agak berat kulangkahkan kaki ini menuju rumahku sendiri. Enggan pulang, inginnya aku terus berjalan di duniaku yang tak kenal duka, dunia masa kecilku. Namun tetap saja kuseret kaki ini menuju rumah. Kembali ke rumah atau tepatnya kembali ke kenyataan hidup, masalah di depan mata.
Siti dan yang lainnya (teman SMA) melihat ke arahku dengan pandangan aneh. Aku tak memperdulikannya dan juga tak menyapanya. Aku masih tersinggung karena tadi diabaikan saat berpapasan di depan rumah Pak Endi. Mereka bertiga sekarang kompak meninggalkanku begitu saja, pergi ke arah rumahku yang bagian depan. Lalu masuk ke dalam rumah. Mereka masuk ke dalam rumahku? Mau apa mereka?. Aku mengikuti mereka dengan tergesa. Aku lihat di ruang tamu banyak orang berkerumun. Banyak diantaranya yang mengenakan pakaian hitam. Entah kenapa perasaanku tak enak. Dan entah kenapa pikiranku hanya tertuju pada satu orang, yaitu bapakku.
Na’udzubillahimindaliq. Dalam hati aku berucap beribu kali. Bapak sudah renta, sudah sering sakit-sakitan. Ketakutanku selama ini adalah jika Allah memutuskan sudah saatnya bagi Bapak beristirahat dari segala lelah deritanya.
Aku takut, Aku tak berani masuk. Aku menunggu cukup lama di luar rumah, tak berani masuk. Orang-orang berbaju hitam makin banyak menghampiri rumahku. Air mataku meleleh. Kenapa harus sekarang ya Allah? Impianku untuk mengajak Bapak saat wisudaku tak bisakah Engkau kabulkan?
Astagfirullah. Aku beristigfar sebanyak aku bisa karena tak selayaknya aku meragukan kemampuan Dia Sang Maha Kuasa. Cukup! Aku membentak diriku sendiri. Aku akan masuk ke dalam rumah. Di depan pintu ruang tamu aku melihat sosok kaku, terbujur mati di depan mataku. Aku tak tahan lagi menahan tangis. Semua mata pelayat tertuju pada mayat bisu di tengah ruang tamu. Tak sedikit di antara mereka yang menunduk terisak.
Aku berjalan lemas mendekati jenazah bapakku. Semua orang tak ada yang menegur atau sekedar menepuk-nepuk pundakku sebagai tanda empati. Semua sibuk dengan kesedihan masing-masing. Aku teringat ibuku. Sekarang Bapak sudah kembali bertemu dengan kekasih sejatinya, pikirku. Aku duduk di sebelah jenazah Bapak. Tak sanggup aku menyibak kain penutup wajahnya. Seorang lagi pelayat datang histeris. Ternyata bibiku, adik dari Bapak. Dia menghampiri Bapak lalu duduk lama menunduk, mencoba menghentikan tangisnya. Dia tak melihatku atau entah bagaimana, tapi aku mulai merasa aneh dengan seluruh penghuni ruang tamu ini. Apa kalian tak memperdulikanku?!
Akhirnya dia gerakkan tangannya, menyibak penutup wajah yang enggan kubuka tadi perlahan. Aku menunduk tak mau melihat.
“Dea! Dea!” Bibiku meraung memanggil namaku. Aku mengangkat kepalaku ingin menjawab panggilan bibiku. Namun tak ada daya untuk mengucapkan sepatah kata, setelah kulihat wajah jenazah di hadapanku ini. Wajahku sendiri.
Apa ini? Apa maksud semua ini? Tuhan mempermainkanku? Aku harus segera bangun dari mimpi ini. Aku tak suka mimpi seperti ini.
Aku coba menarik diriku dari alam mimpi dengan memejamkan mata sekuat tenaga sambil memerintahkan otakku untuk membangunkan ragaku.
Bangun! Bangun! Bangun! Bangun! Kubuka mataku. Tak ada foto yang biasa kulihat di depanku, jika aku bangun tidur. Foto yang kupasang di dinding, tepat di hadapan ranjangku. Fotoku dan kedua orang tuaku. Alih-alih foto itu, wajah pucat pasi yang kulihat dihadapanku. Wajah jenazahku.
“Dea! Dea!” Bibiku meraung semakin keras. Seorang pelayat menenangkannya dan menyeretnya mundur dari jasadku.
“Dimana bang Rudi?” Sekarang Bibi menanyakan keberadaan bapakku.
“Di kamar. Dari tadi tak sadarkan diri. Bi Nana yang menjaga.” Pantas tak kulihat dimana Bapak. Orang yang kukira sudah tak ada sekarang tak jauh beda keadaannya denganku. Sedang tak sadarkan diri, bedanya aku tak akan pernah sadar kembali.
Aku melihat wajahku kembali. Entah mengapa aku merasa melihat wajah penuh kedamaian. Kedamaian yang kurasakan terakhir kali sebelum aku mati. Aku teringat jalan singkatku berkeliling kampung beberapa saat tadi. Andai saja gerobak sate itu ada. Setidaknya aku akan tahu lebih cepat. Lucu. Aku tersenyum menertawakan diriku sendiri.
Kini aku tahu. Tak ada yang berubah. Mereka tak berubah. Akulah yang berubah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar